BAB
I. PELAKSANAAN PENYUSUNAN POLA
PERUNTUKAN, PENYEDIAAN, PENGADAAN DAN PENGGUNAAN HUTAN SECARA SERBA GUNA DAN
LESTARI
Tujuan pembelajaran ini adalah:
Setelah mengikuti
pembelajaran, peserta didik dapat (1) menjelaskan pengertian pengelolaan hutan,
(2) menjelaskan ruang lingkup pengelolaan hutan dan (3) menjelaskan pola
pengelolaan hutan
A. Pengertian Pengelolaan
Hutan
Pengelolaan
hutan merupakan kegiatan kehutanan yang mencakup kegiatan merencanakan,
menggunakan, memanfaatkan, melindungi, rehabilitasi serta mengembalikan
ekosistem hutan yang didasarkan pada fungsi dan status suatu kawasan hutan.
Pengelolaan
hutan pada kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi lebih berorientasi pada
bagaimana menjadikan ekosistem hutan tetap terjaga tanpa melakukan kegiatan
produksi atau penebangan pohon di dalam hutan. Sedangkan pengelolaan hutan pada
kawasan produksi lebih mengedepankan pemanfaatan hasil hutan dengan tetap
melakukan kewajiban untuk mengembalikan ekosistem hutan tetap lestari.
Menurut
Helms (1998), pengelolaan hutan (forest
management) adalah praktek penerapan prinsip-prinsip dalam bidang biologi,
fisika, kimia, analisis kuantitatif, manajemen, ekonomi, sosial dan analisis
kebijakan dalam rangkaian kegiatan membangun atau meregenerasikan, membina, memanfaatkan
dan mengkonservasikan hutan untuk mendapatkan tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan, dengan tetap mempertahankan produktivitas dan kualitas hutan.
Pengelolaan hutan mencakup pengelolaan terhadap keindahan (aesthetics), ikan
dan fauna air lain pada sungai-sungai di dalam hutan, rekreasi, nilai-nilai dan
fungsi-fungsi hutan untuk wilayah perkotaan, air, hidupan liar, kayu dan hasil
hutan bukan kayu lainnya, serta berbagai nilai lain yang termasuk dalam
kelompok sumberdaya hutan.
Pengelolan
hutan mengandung arti penanganan hutan dengan fungsi tertentu yaitu pengelolaan
hutan lindung, pengelolaan hutan produksi dan pengelolaan hutan konservasi
serta yang lebih khusus lagi adalah pengelolaan hutan pada tingkat kesatuan
pengelolaan hutan (management unit)
tertentu
B. Ruang lingkup
pengelolaan hutan
Menurut
UU Kehutanan No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, ruang lingkup pengelolaan
hutan meliputi kegiatan tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan,
rehabilitasi dan reklamasi hutan serta perlindungan hutan dan konservasi alam.
Pengelolaan
Hutan pada kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi lebih berorientasi pada
bagaimana menjadikan ekosistem hutan tetap terjaga tanpa melakukan kegiatan produksi atau penebangan
pohon di dalam hutan. Sedangkan pengelolaan hutan produksi berorientasi pada
pemanfaatan hasil hutan dengan tetap melakukan kewajiban untuk megembalikan
ekosistem hutan tetap lestari.
Pengelolaan
hutan meliputi kegiatan sebagai berikut:
1. Tata
hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan merupakan kegiatan rancang
bangun unit pengelolaan hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang
terkandung di dalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari
(optimal). Dengan kata lain kegiatan ini merupakan tahap persiapan untuk
dapat mengelola hutan secara intensif dan lestari (optimal).
Tata hutan meliputi
pembagian hutan ke dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan
rencana pemanfaatan hutan. Dimana pembagian blok tersebut didasarkan kepada petak-petak sesuai intensitas
dan efisiensi pengelolannya.
Berdasarkan petak dan
blok tersebut maka disusunlah rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu
tertentu.
Berdasarkan penataan hutan
yang telah dilakukan maka ditentukanlah peruntukan kawasan hutan sesuai status
dan fungsinya sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.
2. Pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan
Pemanfaatan hutan
bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh
masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan
kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada cagar alam,
zona inti dan zona rimba pada taman nasional.
Pemanfaatan hutan pada
beberapa kawasan hutan di antaranya:
1) Pemanfaatan hutan
lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pemanfaatan hutan
lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin usaha pemungutan hasil hutan bukan
kayu.
-
Izin
usaha pemanfaatan kawasan dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi.
-
Izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat diberikan kepada perorangan, koperasi,
badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah.
-
Izin
usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan dan
koperasi.
2) Pemanfaatan hutan
produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu.
Pemanfaatan hutan
produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu,
izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin usaha pemungutan hasil
hutan kayu dan izin usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu.
-
Izin
usaha pemanfaatan kawasan hutan produksi dapat diberikan kepada perorangan dan
koperasi.
-
Izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi dapat diberikan kepada
perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah.
-
Izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi dapat diberikan kepada
perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah.
-
Izin
usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi dapat diberikan
kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah.
-
Izin
usaha pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu dapat diberikan kepada
perorangan dan koperasi.
Dalam
rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat setiap BUMN, BUMD dan BUMSI yang
memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu diwajibkan bekerjasama dengan koperasi masyarakat
setempat.
Untuk
menjamin azas keadilan, pemerataan dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan
hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek
kepastian usaha.
3) Pengelolaan kawasan
hutan dengan tujuan khusus dapat diberikan kepada:
a) Masyarakat hukum adat
b) Lembaga pendidikan
c) Lembaga penelitian
d) Lembaga sosial
keagamaan
Kewajiban yang harus
dilakukan oleh pemegang izin usaha pemanfaatan hutan yaitu:
a) Setiap pemegang izin
usaha pemanfaatan hutan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi dan
dana jaminan kinerja.
b) Setiap pemegang
izin pemanfaatan hutan wajib menyediakan
dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
c) Setiap pemegang izin
usaha pemanfaatan hutan hanya dikenakan provisi.
4) Pemanfaatan hutan hak
dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sesuai dengan
fungsinya. Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat
dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
5) Pemanfaatan hutan adat
dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya.
Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan
sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
6) Penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat
dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan lindung. Penggunaan kawasan hutan
dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam
pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu
tertentu serta kelestarian lingkungan.
7) Pada kawasan hutan
lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
Pemberian ijin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta
bernilai strategis dilakukan oleh menteri atas persetujuan DPR.
3. Rehabilitasi dan
reklamasi hutan
Rehabilitasi
hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan
fungsi hutan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan
lahan diselenggarakan melalui kegiatan:
a) Reboisasi
b) Penghijauan
c) Pemeliharaan
d) Pengayaan tanaman, atau
e) Penerapan teknis
konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis dan tidak
produktif.
Kegiatan
rehabilitasi tersebut dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar
alam dan zona inti taman nasional.
Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan
berdasarkan kondisi spesifik biofisik, mengutamakan pendekatan
partisipatif dalam rangka mengembangkan
potensi dan memberdayakan masyarakat.
Setiap
orang yang memiliki, mengelola dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau
tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan
perlindungan dan konservasi. Dalam pelaksanaannya, setiap orang dapat meminta
pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada LSM, pihak lain atau pemerintah.
Reklamasi hutan meliputi usaha untuk
memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar
dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Kegiatan reklamasi meliputi inventarisasi
lokasi, penetapan lokasi, perencanaan dan pelaksanaan reklamasi.
Penggunaan
kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan
atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan oleh pemerintah. Reklamasi
pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang
izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar
kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah
wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
4. Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam
Penyelenggaraan perlindungan hutan dan
konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar
fungsi lindung, konservasi dan produksi tercapai secara optimal dan lestari.
Perlindungan
hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:
a) Mencegah dan membatasi
kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh manusia,
ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta penyakit
b) Mempertahankan dan
menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan,
hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan
hutan.
Pemerintah
mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Perlindungan hutan pada hutan negara
dilakukan oleh pemerintah. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta
pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan diwajibkan melindungi
hutan dalam areal kerjanya. Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh
pemegang haknya. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang
sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.
Beberapa
hal yang dilarang:
a) Setiap orang dilarang
merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
b) Setiap orang yang
diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta izin
pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan
kerusakan hutan.
c) Setiap orang dilarang:
1) Mengerjakan dan atau
menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.
2) Merambah kawasan hutan
3) Melakukan penebangan
pohon dalam kawasan hutan dengan radius :
-
500
m dari tepi waduk atau danau;
-
200
m dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
-
100
m dari kiri kanan tepi sungai;
-
50
m dari kiri kanan tepi anak sungai;
-
2
kali kedalam jurang dari tepi jurang;
-
130
kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d) Membakar hutan;
e) Menebang pohon atau
memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin
dari pejabat yang berwenang;
f)
Menerima,
membeli, atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau
memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut di duga berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g) Melakukan kegiatan
penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam
kawasan hutan tanpa izin Menteri;
h) Mengangkut, menguasai,
memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan (SKSHH);
i)
Menggembalakan
ternak di dalam kawasan hutan yg tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j)
Membawa
alat-alat berat atau alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan
untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang;
k) Membawa alat-alat yang
lazim diguanakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
l)
Membuang
benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi
hutan ke dalam kawasan hutan; dan
m) Mengeluarkan, membawa
dan mengangkat tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi
undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang
berwenang.
Untuk
menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat
kehutanantertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang
kepolisian khusus. Pejabat tersebut berwenang untuk:
a) Meangadakan
patroli/parondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
b) Memeriksa surat-surat
atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan
hutan atau wilayah hukumnya;
c) Menerima laporan tentang
telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan;
d) Mencari keterangan dan
barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan
hasil hutan; dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada yang berwenang; dan
e) Membuat laporan dan
menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan.
C. Pola Pengelolaan Hutan
Hutan di Indonesia
berdasarkan TGHK
secara nasional seluas 144 juta ha yang tersebar di berbagai pulau utama dan
peruntukannya dibagi menjadi 5 kategori. Hutan di Indonesia merupakan 75 % dari
seluruh wilayah Indonesia atau 50 % dari hutan tropika di Asia Tenggara dan 10
% dari hutan tropika di dunia. Menurut
Departemen Kehutanan kawasan hutan tersebut dibagi menjadi beberapa
peruntukan, yaitu 20% sebagai hutan konservasi (conservation forest), 27% hutan lindung (protection forest), 9,8% sebagai hutan suaka alam dan hutan wisata
(nature reserve and recreation forest),
17% sebagai hutan produksi tetap (permanent
production forest) dan 16,1 % sebagai hutan produksi terbatas (limited production forest).
Fungsi hutan ditinjau
dari kepentingan sosial ekonomi, sifat alam sekitarnya dan sifat-sifat lainnya
yang berkenaan dengan kehidupan manusia, dapat dikatan bahwa hutan berperan
sebagai sumberdaya. Dengan letak yang strategis antara dua benua dan dua
samudra, sumberdaya alam hutan indonesia memeiliki berbagai anekaragam boitik
tinggi. Dengan kondisi tersebut, sumberdaya hutan menjadi salah satu modal
pembangunan, baik dari segi produksi hasil hutan atau fungsi sumber plasma
nutfah maupun penyangga kehidupan. Peranan tersebut menjadi salah satu modal
pembangunan berbagai segi, tergantung pada keadaan dan kondisi setempat.
Pengelolaan hutan
mengandung arti penanganan hutan dengan fungsi tertentu, yaitu pengelolaan
hutan lindung, pengelolaan hutan produksi dan pengelolaan hutan konservasi,
serta yang lebih khusus lagi adalah pengelolaan hutan pada tingkat kesatuan
pengelolaan hutan (managemen unit) tertentu. Arief (2001) menyebutkan agar
sumberdaya hutan yang luasnya 144 juta hektar tersebut dapat dimanfaatkan
secara optimal, maka kawasan hutan dibedakan menjadi beberapa kelompok
berdasarkan fungsinya, yakni sebagai berikut:
1) Fungsi Pelindung
Suatu kawasan
dilindungi oleh negara karena berfungsi menjaga mutu lingkungan hidup, terutama
demi kepentingan manusia. Saat ini terdapat 425 juta lahan di sekitar 3500
daerah di seluruh dunia yang mendapat perlindungan negara demi kelangsungan dan
terhindarnya kepunahan makhluk. Program manusia dan biosfer UNESCO bertujuan
untuk mengurus jaringan global dari 252 cagar biosfer di 66 negara.
Tempat-tempat tersebut telah dipilih sebagai perlindungan dari contoh mintakat
atau zona ekologi bumi yang masih utuh dengan sebutan provinsi biogeografi dan
untuk memadukan pengawetannya dengan kebutuhan ekonomi masyarakat setempat.
Menurut UU 41 tahun1999
tentang Kehutanan, hutan lindung adalah kawasan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara
kesuburan tanah. Pohon yang tajuk-tajuknya saling menaungi akan mampu menahan
jatuhnya titik air hujan pada permukaan tanah. Dengan bantuan tumbuhan lantai
hutan (forest floor), serasah dan humus memiliki peranan yang sangat penting
bahkan lebih penting daripada tegakan pohon itu sendiri. Sebab tumbuhan bawah,
serasah dan humus sangat menentukan permeabilitas tanah dalam menyerap air yang
jatuh dari tajuk pohon serta akan mencegah laju aliran air permukaan (surface
run-off), sehingga terserap oleh tanah (infiltrasi).
Menurut Arief (2001), kawasan hutan, terutama hutan
lindung,
adalah kawasan yang memiliki curah hujan tinggi dengan struktur tanah yang
mudah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan
secara besar-besaran. Di sini sistem hidrologi berlaku, artinya hutan merupakan
gudang penyimpanan air dan tempat menyerapnya air hujan maupun embun. Pada umumnya di daerah hutan terutama di
daerah dataran tinggi dan pegunungan lembap, kabut mengembun pada daun dan
dahan pepohonan yang disebut intersepsi horizontal. Air yang mengembun akan
menetes ke tanah (persipitasi okult) dan menambah besarnya aliran yang meresap
ke dalam tanah. Pada akhirnya, aliran air di bawah permukaan tanah (sub-surface flow) bertambah dan
menghasilkan air jernih yang akan dialirkan ke sungai-sungai yang memiliki mata
air secara teratur di dalam hutan atau daerah aliran sungai.
Pembuktian bahwa
pohon-pohon menyerap air seperti ditunjukkan di Taiwan dengan tebang habis pada
tahun pertama terjadi kenaikan air di musim kemarau sebesar 108% dan kenaikan
hasil air tahunan sebanyak 650 mm pada tebang habis 100% di Selandia Baru, sedangkan
penebangan sebesar 75% bahkan hanya 50 % mampu meningkatkan air sebanyak 540 mm
dan 200 mm. Douglas (1981) melaporkan terjadinya aliran meningkat secara
tiba-tiba sebesar 20% tahun pertama sejak adanya penebangan di DAS dan secara
tiba-tiba berkurang seiring dengan waktu
pertumbuhan permudaan selama 8 tahun. Berdasarkan keterangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengurangan
luas hutan akan menambah aliran air dan juga sebaliknya. Jadi tidak benar bahwa hutan akan mampu
menambah atau menghasilkan air. Hutan justru mengurangi air karena penyerapan
dan disimpan oleh vegetasi serta dikeluarkan sebagian dalam proses
evapotranspirasi.
2) Fungsi Produksi
Fungsi produksi hutan
memiliki peran yang di bidang perekonomian karena produksi hasil hutan dapat
meningkatkan pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. Pengusahaan
hutan berdarkan atas azas kelestarian
dan azas perusahaan meliputi aspek penanaman, pemeliharaan pemungutan hasil,
pengolahan dan pemasaran hasil hutan.
Menurut UU 41 tahun
1999 tentang Kehutanan, hutan produksi
adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan. Hutan yang berfungsi produksi merupakan kawasan hutan yang ditumbuhi
pepohonan keras yang pertumbuhannya selalu diusahakan dan dikhususkan untuk
dipungut hasilnya, baik berupa kayu-kayuan maupun hasil-hasil sampingan
lainnya, seperti getah, damar, akar dan lain-lain. Hasil produksi tersebut
digunakan untuk memenuhi keperluan masyarakat dan untuk pembangunan industri
serta ekspor, tetapi masih memperhatikan fungsi ekologisnya.
Indonesia, berkaitan
dengan fungsi produksi, telah membangun + 64,3 juta ha atau 33 % dari
luas kawasan hutan yang ada. Hutan produksi dibedakan menjadi:
a) Hutan produksi bebas,
yaitu hutan yang dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih atau tebang
habis. Hutan produksi bebas terletak pada ketinggian 0 – 500 m di atas
permukaan laut yang mencakup tipe vegetasi hutan hujan dataran rendah, hutan
rawa, hutan rawa gambut dan mangrove.
b) Hutan produksi
terbatas, yaitu hutan yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih
karena masih diperlukan sebagai fungsi kontrol erosi tanah. Hutan produksi
terbatas terletak padaketinggian 500-1000 m di atas permukaan laut pada
kecuraman dari 40% terutama mencakup hutan hujan bukit.
Dengan
berlakunya UU no.5 tahun 1967 dan UU no.1 tahun 1967 tentang penanaman modal
asing, maka terjadi pemberlakuan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang menjadikan
hutan-hutan di luar Jawa menipis. Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan energi
dan barang bagi manusia, mulai dari korek api sampai bangun rumah, perkapalan
dan pulp. Jenis hasil hutan ditujukan untuk memenuhi keperluan masyarakat dan
kepentingan negara. Hasil-hasil hutan antara lain mempunyai manfaat langsung,
industri dan manfaat lain seperti disajikan pada Tabel 1. Hasil-hasil hutan
tersebut sebagian besar telah dikirim keluar negeri sebagai penambah devisa
negara yang dimasukkan dalam sektor komoditas non-gas.
Tabel 1.
Potensi Manfaat Yang Mampu Dihasilkan Hutan
No
|
Industri
|
Langsung
|
Lain-lain
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Perkayuan
Bidang Farmasi
Kertas (Pulp)
Getah
Residu (Terpentin)
Minyak (Cengkeh, kayu Putih,
dsb)
Wewangian Nabati
Lak
Rotan dan lain-lain
|
Buah-buahan
Buruan Makanan Ternak
Bahan Obat
Kayu Bakar
Bahan Arang
Kayu Bangunan
Lebah Madu
Bahan Tenun (Ulat Sutera dan
Serat)
|
Estetika
Rekreasi
Spiritual
Olah Raga
Sosial Budaya
Ketahanan
Nasional
|
3) Fungsi Konservasi
Menurut UU no.41 tahun
1999 tentang Kehutanan, hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi dijelaskan lebih detail dalam UU no.5
tahun 1990 tentang KSDAH dan Ekosistemnya. Kawasan ini telah dikembangkan
seluas + 19 juta ha atau 13 % dari kawasan hutan di Indonesia. Di dalam
undang-undang tersebut, beberapa pengertian telah tercantum, antara lain
sebagai berikut:
a. Kawasan Suaka Alam
Kawasan suaka alam
adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang
juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan. Peningkatan jumlah manusia mengakibatkan luas
kawasan hutan menjadi semakin sempit karena kebutuhan lahan huni. Hal ini
menjadikan berbagai jumlah jenis tumbuhan dan binatang makin berkurang, bahkan
kemungkinan akan mengalami kepunahan. Untuk melindungi jenis-jenis flora dan
fauna tersebut, maka dibentuk suatu taman atau kawasan berupa darat atau
perairan yang mempunyai kawasan fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan.
Kawasan suaka alam ini terdiri atas:
(1) Cagar Alam
Cagar alam adalah
kawasan suaka alam yang keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan
ekosistem tertentu yang layak untuk dilindungi yang dalam perkembangannya
diusahakan secara alami. Adapun usaha untuk melindungi flora dan fauna yang
memiliki ciri khusus tersebut dilaksanakan suatu pengembangbiakan secara in-situ (pada habitat asli) dan eks-situ (di luar habitat asli). Namun
konservasi eks-situ sangat sulit
dilakukan bila tidak didukung oleh keberadaan daerah sekitarnya. Sebab,
kehidupan jenis flora dan fauna secara alami mengalami interaksi dengan ekosistem
alaminya dalam kehidupannya. Kawasan cagar alam sangat penting bagi
perlindungan sumberdaya alam dari suatu bangsa dan hal ini menjamin apabila:
Wilayah
alami yang penting dan dianggap mewakili secara terus-menerus selalu
terpelihara.
Keanekaragaman
biologi dan fisik selalu terjaga
Plasma
nutfah selalu lestari
(2) Suaka Margasatwa
Suaka marga satwa
adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan
keunikan jenis satwanya, sehingga sangat penting bagi ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta keindahan, sedangkan kelangsungan hidup satwa tersebut dapat
dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
b. Kawasan Pelestarian
Alam
Kawasan
pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi
pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam merupakan kawasan yanga sangat luas
dan tidak terganggu. Kawasan ini mempunyai nilai alam dengan ciri yang tidak
menonjol atau ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan.
Dengan
pengertian diatas maka kawasan pelestarian alam dapat dilakukan suatu kegiatan
bagi kepentingan penelitian dan kegiatan lain yang menunjang budidaya serta kegiatan
wisata alam. Kegiatan-kegiatan tersebut akan mampu meningkatkan potensi
masyarakat sekitarnya yang ikut aktif dalam kegiatan sehari-harinya. Kawasan
pelestarian alam dapat dibedakan menjadi beberapa kawasan sebagai berikut:
(1) Taman Nasional
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian
alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kegiatan
ini untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata
dan rekreasi. Kriteria batasan dalam penetapan zonasi taman nasional adalah
sebagai berikut:
Zona Inti. Zona ini secara khusus
diperuntukkan bagi upaya perlindungan dan pelestarian, maka dalam zona ini
tidak diperbolehkan adanya penunjang kecuali kegiatan penelitian. Kedudukan
zona ini sama dengan Cagar Alam atau Suaka Margasatwa.
Zona Rimba. Zina ini dapat dikunjungi
dengan berbagai kegiatan rekreasi, tetapi dalam batas-batas tertentu. Kegiatan
yang ada umumnya suatu pengelolaan habitat dan pembuatan jalan setapak atau
paling tidak wisata alam terbatas.
Zaona Pemanfaatan. Zona ini dialokasikan
untuk menampung bentuk kegiatan rekreasi dan penyediaan sarana untuk
pengelolaan, misalnya kantor dan stasiun penelitian, bumi perkemahan, tempat
parkir dan lain-lain.
Zona Pemanfaatan Tradisional. Zona ini
merupakan zona yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara tradisional
untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat sekitar yang umumnya
menggantungkan hidupnya pada hasil hutan non-kayu.
Zona Rehabilitasi, kawasan zona ini dapat
dilakukan suatu kegiatan-kegiatan penelitian pemngembangan, serta pemulihan
jenis tumbuhan (pohon kehidupan) dan satwa jenis asli.
(2) Taman Hutan Raya (Tahura)
Adalah kawasan pelstarian alam yang
bertujuan untuk mengoleksi tumbuhan dan atau satwa alami atau buatan, jenis
asli atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Tahura ini
merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang bertujuan untuk mengoleksi
jenis-jenis tumbuhan dan memperbaiki kawasan hutan yang rusak untuk menunjang
program pengembangan wisata, khususnya dalam oenyediaan saranawisata alam bagi
masyarakat dalam maupun luar negeri. Namun, arti penting Tahura adalah untuk
menyediakan sarana pendidikan yang berkaitan dengan upaya konservasi sumberdaya
alam terutama untuk meningkatkan kesadaran pentingnya peran masyarakat dalam
upaya konservasi tersebut.
(3) Taman Wisata Alam
Taman wisata alam adalah kawasan
pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.
Taman wisata alam ini merupakan objek dari kegiatan yang berkaitan dengan
rekreasi dan pariwisata yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan
ekosistem, baik dalam bentuk asli (alami) maupun perpaduan hasil buatan
manusia.
D. Rangkuman
1) Pengertian Pengelolaan
Hutan
(a) Pengelolaan hutan
merupakan kegiatan kehutanan yang mencakup kegiatan merencanakan, menggunakan,
memanfaatkan, melindungi, rehabilitasi serta mengembalikan ekosistem hutan yang
didasarkan pada fungsi dan status suatu kawasan hutan.
(b) Menurut Helms (1998),
pengelolaan hutan (forest management)
adalah praktek penerapan prinsip-prinsip dalam bidang biologi, fisika, kimia,
analisis kuantitatif, manajemen, ekonomi, sosial dan analisis kebijakan dalam
rangkaian kegiatan membangun atau meregenerasikan, membina, memanfaatkan dan
mengkonservasikan hutan untuk mendapatkan tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan, dengan tetap mempertahankan produktivitas dan kualitas hutan.
2) Ruang Lingkup
Pengelolaan Hutan
Menurut UU Kehutanan
No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, ruang lingkup pengelolaan hutan meliputi kegiatan
:
a) tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan,
b) pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutan,
c) rehabilitasi dan
reklamasi hutan, serta
d) perlindungan hutan dan
konservasi alam.
3) Pola Pengelolaan Hutan
Pola pengelolaan hutan
berdasarkan pada fungsi hutan, yaitu:
a) Fungsi Pelindung
b) Fungsi Produksi
c) Fungsi konservasi
E. Tugas
No
|
Uraian
Tugas
|
Tahapan
Penyelesaian
|
Hasil
Tugas
|
a.
|
Deskripsikan
dan tuliskan ruang lingkup pengelolaan hutan
|
1.
Amati hutan yang ada didekat anda.
2.
Deskripsikan ruang lingkup pengelolaan hutan yang ada di hutan tersebut.
3.
Diskusikan hasil pengamatan tersebut secara berkelompok
4.
Buatlah kesimpulan dari hasil diskusi tersebut.
|
Deskripsi
dan tulisan tentang ruang lingkup pengelolaan hutan
|
b.
|
Deskripsikan
dan tuliskan pola pengelolaan hutan berdasarkan fungsi hutannya
|
1.
Amati hutan yang ada di dekat anda.
2.
Deskripsikan pola pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya.
3.
Diskusikan hasil pengematan tersebut.
4.
Buatlah kesimpulan dari hasil diskusi tersebut.
|
Deskripsi
dan tulisan tentang pola pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya
|
BAB II. POLA KEGIATAN PELAKSANAAN PENGELOLAAN HUTAN
MENURUT RUANG DAN WAKTU
Tujuan
pembelajaran :
Setelah
mengikuti pembelajaran, peserta didik dapat: (1) menentukan pengelolaan hutan
berdasarkan ruang, dan (2) menentukan pengelolaan hutan berdasarkan waktu
Pengelolaan menrupakan suatu
usaha yang di dalamnya meliputi beberapa aspek, seperti perencanaan, organisasi
pelaksana, implementasi, monitoring, dan evaluasi yang setiap fungsi saling
berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Akhirnya,
pengelolaan hutan bertujuan untuk menghasilkan suatu yang dikelola, sedangkan
hutan berisi berbagai kehidupan yang saling ketergantungan. Dengan demikian,
aspek pengelolaan hutan dapat dikatakan sebagai usaha yang meliputi beberapa
bidang ilmu yang saling mendukung, seperti ilmu tanah, agronomi, perlindungan
tanaman, sosial ekonomi, dan lingkungan, bahkan saat ini mencakup bidang
komputerisasi. Ilmu terakhir ini sangat mendukung dengan makin banyaknya
tuntutan terhadap fungsi hutan, juga dalam keakuratan informasi. Multi-tujuan
pengelolaan hutan adalah berupa manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat
setempat, bagi negara dan pengusaha.
Hutan mempunyai fungsi yang
menguasai hajat hidup orang banyak, antara lain:
1) Mengatur tata air,
mencegah bahaya banjir, mencegah erosi dan memelihara kesuburan tanah.
2) Memenuhi produksi hasil
hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan
pembangunan, industri dan ekspor.
3) Membantu membangun
ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong industri hasil hutan pada
khususnya.
4) Melindungi suasana
iklim dan memberi daya pengaruh yang baik.
5) Memberi keindahan alam
pada umumnya dan khususnya dalam bentuk Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman
Wisata Alam, dan bagi kepentingan ilmu pengetahuan pendidikan, kebidayaan dan
pariwisata.
6) Merupakan salah satu
unsur basis strategis pertahanan nasional.
1. Pengelolaan Hutan
Berdasarkan Ruang
Pengelolan hutan berdasarkan
ruang dapat digambarkan berdasarkan kegiatan pengelolaan hutan pada tingkat
Kesatuan Pengelolaan Hutan. Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya
disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan
peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
KPH sebagaimana
dimaksud meliputi:
a. KPH Konservasi (KPHK)
b. KPH Lindung (KPHL)
c.
KPH
Produksi (KPHP)
KPH
ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah
administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan. Dalam satu KPH,
dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, dan penetapan KPH sebagaimana
dimaksud berdasarkan fungsi yang luasnya dominan. Misalkan, KPH A terdiri dari
kawasan produksi dan konservasi dalam satu wilayah administrasi, oleh karena
luas wilayah kawasan produksi yang dominan, maka KPH tersebut ditetapkan
sebagai KPH Produksi (KPHP).
Menteri
menetapkan luas wilayah KPH dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas
pengelolaan hutan dalam satu wilayah daerah aliran sungai (DAS) atau satu
kesatuan ekosistem. Pemerintah dan/atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah
kabupaten/kota, sesuai kewenangannya menetapkan organisasi KPH. Organisasi KPH
yang ditetapkan oleh pemerintah pusat meliputi organisasi : 1) KPHK; atau 20
KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi. Organisasi KPH yang
ditetapkan oleh pemerintah provinsi meliputi organisasi KPHL dan KPHP lintas
kabupaten/kota, sedangkan organisasi KPH yang ditetapkan oleh pemerintah
kabupaten/kota meliputi KPHL dan KPHP dalam wilayah kabupaten/kota.
Organisasi
KPH mempunyai tugas dan fungsi:
a. Menyelenggarakan
pengelolaan hutan
1) Tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan
2) Pemanfaatan hutan
3) Penggunaan kawasan
hutan
4) Rehabilitasi dan
reklamasi hutan
5) Perlindungan hutan dan
konservasi alam
b. Menjabarkan
kebijakan kehutanan nasional,
provinsi dan
kabupaten/kota bidang kehutanan
c.
Melaksanakan
kegiatan pengelolaan hutan
diwilayahnya
mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta
pengendalian;
d. Melaksanakan
pemantauan dan penilaian atas
pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya;
e. Membuka peluang
investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Pemerintah pusat,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya
bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan infrastrukturnya. Dana bagi
pembangunan KPH bersumber dari APBN, APBD dan/atau dana lain yang tidak
mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
1.1
Tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan KPH
Tata hutan dilaksanakan
pada setiap KPH di semua kawasan hutan. Pada aeral tertentu dalam kawasan hutan
dapat ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan kemasyarakatan, hutan adat,
hutan desa atau kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK). Hasil kegiatan tata
hutan berupa inventarisasi penataan hutan yang disusun dalam bentuk buku dan
peta penataan KPH yang dilakukan oleh organisasi KPH.
Kegiatan tata hutan di
KPH terdiri dari:
a. Tata batas
b. Inventarisasi hutan
c.
Pembagian
ke dalam blok atau zona
d. Pembagian petak dan
anak petak
e. Pemetaan
Kepala
KPH menyusun rencana pengelolan hutan berdasarkan hasil kegiatan tata hutan,
dengan mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota
dan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta
kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan meliputi:
a. Rencana pengelolaan
hutan jangka panjang
b. Rencana pengelolaan
hutan jangka pendek
Rencana
pengelolaan hutan jangka panjang disusun oleh kepala KPH, yang memuat
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Tujuan yang akan
dicapai KPH
b. Kondisi yang dihadapi
c.
Strategi
serta kelayakan pengembangan pengelolaan hutan, yang meliputi tata hutan, dst.
Rencana
pengelolaan hutan jangka pendek disusun berdasarkan rencana pengelolaan hutan
jangka panjang, disusun oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala KPH, yang emuat
unsur-unsur sebagai berikut:
a. tujuan pengelolaan hutan lestari dalam skala KPH yang bersangkutan;
b.
evaluasi hasil rencana jangka pendek sebelumnya;
c.
target yang akan dicapai;
d. basis data dan informasi;
e. kegiatan yang akan dilaksanakan;
f.
status neraca sumber daya hutan;
g.
pemantauan evaluasi, dan pengendalian kegiatan; dan
h.
partisipasi para pihak
Beberapa
ketentuan terkait dengan rencana pengelolaan KPH antara lain:
a. Menteri Kehutanan,
Gubernur atau bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai kewenangannya,
mengesahkan rencana pengelolaan hutan jangka panjang yang disusun oleh kepala
KPH. Kepala KPH mengesahkan rencana pengelolaan jangka pendek yang disusun oleh
pejabat yang ditunjuk oleh kepala KPH.
b. Rencana pengelolaan
hutan jangka panjang harus disahkan oleh menteri Kehutanan paling lambat 5
tahun, sejak organisasi KPH ditetapkan.
c.
Dalam
wilayah KPH yang telah memiliki rencana pengelolaan hutan jangka panjang dapat
dilakukan kegiatan pemanfaatan hutan dengan izin pemanfaatan hutan.
d. Dalam wilayah KPH yang
dalam jangka waktu 5 tahun belum memiliki rencana pengelolaan jangka panjang,
kegiatan pemanfaatan hutan dapat dilaksanakan berdasarkan pada rencana
kehutanan tingkat nasional.
e. Menteri Kehutanan
menunjuk instansi kehutanan untuk menyusun rencana dan kegiatan pengelolaan
hutan dalam wilayah KPH yang belum terbentuk organisasi KPH.
1.2
Pemanfaatan Hutan
Pemanfaatan hutan
bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil
dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan dapat dilakukan
melalui kegiatan:
a. Pemanfaatan kawasan
b. Pemanfaatan jasa
lingkungan
c.
Pemanfaatan
hasil hutan kayu dan bukan kayu
d. Pemungutan hasil hutan
kayu dan bukan kayu
Pemanfaatan
hutan dilakukan berdasarkan rencana pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dan
dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan yaitu kawasan:
a. Hutan konnservasi,
kecuali pada cagar alam, zona rimba dan zona inti dalam taman nasional
b. Hutan lindung
c.
Hutan
produksi
Dalam
setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan wajib disertai dengan izin
pemanfaatan hutan yang meliputi:
a. Izin Usaha Pemanfaatan
Kawasan (IUPK)
b. Izin Usaha Pemanfaatan
Jasa Lingkungan (IUPJL)
c.
Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)
d. Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK)
e. Izin Pemungutan Hasil
Hutan Kayu (IPHHK)
f.
Izin
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK)
Izin
pemanfaatan hutan dapat dipindahtangankan setelah mendapat persetujuan tertulis
dari pemberi izin. Areal izin pemanfaatan hutan tidak dapat dijadikan jaminan,
agunan, atau dijaminkan kepada pihak lain. Untuk wilayah tertentu, Menteri
Kehutanan dapat menugaskan kepala KPH untuk menyelenggarakan pemanfaatan hutan,
termasuk melakukan penjualan tegakan. Penyelenggaraan pemanfaatan hutan,
termasuk melakukan penjualan tegakan dalam wilayah tertentu didasarkan pada
pedoman, kriteria dan standar pemanfaatan hutan wilayah tertentu.
1.2.1
Pemanfaatan
hutan pada Hutan Lindung
Dalam
blok perlindungan pada hutan lindung, dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan
hutan. Pemanfaatan hutan pada hutan lindung dapat dilakukan melalui kegiatan:
a. Pemanfaatan kawasan
Pemanfaatan kawasan
pada hutan lindung dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha :
1) budidaya tanaman obat;
2) budidaya tanaman hias;
3) budidaya jamur;
4) budidaya lebah;
5) penangkaran satwa liar;
6) rehabilitasi satwa;
atau
7) budidaya hijauan
makanan ternak.
Kegiatan
usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan :
1) tidak mengurangi,
mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya;
2) pengolahan tanah
terbatas;
3) tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
4) tidak menggunakan peralatan
mekanis dan alat berat;
5) tidak membangun sarana
dan prasarana yang mengubah bentang alam.
b. Pemanfaatan jasa
lingkungan
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pada
Hutan Lindung dilakukan melalui kegiatan usaha:
1) pemanfaatan jasa aliran
air;
2) pemanfaatan air;
3) wisata alam;
4) perlindungan
keanekaragaman hayati;
5) penyelamatan dan
perlindungan lingkungan;
6) penyerapan dan/atau
penyimpanan karbon.
Kegiatan usaha pemanfaatan jasa
lingkungan pada hutan lindung, dilakukan dengan ketentuan tidak:
1) mengurangi, mengubah,
atau menghilangkan fungsi utamanya;
2) mengubah bentang alam;
3) merusak keseimbangan
unsur-unsur lingkungan.
Pemegang izin, dalam
melakukan kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan pemanfaatan air pada
hutan lindung, harus membayar kompensasi kepada pemerintah.
c.
Pemungutan
hasil hutan bukan kayu
Pemungutan Hasil Hutan Bukan
Kayu Pada Hutan Lindung antara lain berupa :
1) rotan;
2) madu;
3) getah;
4) buah;
5) jamur;
6) sarang burung walet.
Pemungutan hasil hutan bukan
kayu pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan:
1) Hasil hutan bukan kayu
yang dipungut harus sudah tersedia secara alami;
2) Tidak merusak
lingkungan; dan
3) Tidak mengurangi,
mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung hanya
boleh dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan.Pada hutan lindung, dilarang;
1) memungut hasil hutan
bukan kayu yang banyaknya melebihi kemampuan produktifitas lestarinya;
2) memungut beberapa jenis
hasil hutan yang dilindungi oleh undang-undang.
1.2.2 Pemanfaatan hutan pada
Hutan Produksi
Pada hutan produksi,
pemanfaatan hutan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip untuk mengelola
hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya. Pemanfaatan hutan pada hutan
produksi dilakukan, antara lain melalui kegiatan:
a. Usaha Pemanfaatan
Kawasan
Pemanfaatan kawasan
pada hutan produksi dilakukan, antara lain, melalui kegiatan usaha:
1) budidaya tanaman obat;
2) budidaya tanaman hias;
3) budidaya jamur;
4) budidaya lebah;
5) penangkaran satwa; dan
6) budidaya sarang burung
walet.
Pemanfaatan Kawasan
pada hutan produksi tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan dalam bentuk
usaha lain, dengan ketentuan:
1) luas areal pengolahan
dibatasi
2) tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi
3) tidak menggunakan
peralatan mekanis dan alat berat
4) tidak membangun sarana
dan prasarana yang mengubah bentang alam
b. Usaha Pemanfaatan Jasa
Lingkungan
Pemanfaatan jasa
lingkungan pada hutan produksi dilakukan, antara lain, melalui kegiatan :
1) pemanfaatan jasa aliran
air;
2) pemanfaatan air;
3) wisata alam;
4) perlindungan
keanekaragaman hayati;
5) penyelamatan dan
perlindungan lingkungan; dan
6) penyerapan dan/atau
penyimpanan karbon.
Pemanfaatan jasa
lingkungan pada hutan produksi dilakukan dengan ketentuan:
1) tidak mengubah bentang
alam
2) tidak merusak
keseimbangan unsur-unsur lingkungan
3) tidak mengurangi fungsi
utamanya
Pemegang izin dalam
melakukan kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan pemanfaatan air pada
hutan produksi, harus membayar kompensasi kepada pemerintah.
c.
Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam
Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu dalam Hutan Alam pada hutan produksi dapat dilakuakan melalui kegiatan
usaha:
1) Pemanfaatan hasil hutan
kayu
Kegiatan ini dapat
dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan
karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya. Usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu dalam hutan alam pada hutan produksi meliputi kegiatan pemanenan,
pengayaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil sesuai
dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan.
2) Pemanfaatan hasil hutan
kayu restorasi ekosistem
Usaha ini meliputi
kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk
penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan
fauna. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan
alam pada hutan produksi hanya dilakukan dengan ketentuan:
•
Hutan
produksi harus berada dalam satu kesatuan kawasan hutan
•
Luas
dan letak kawasan hutan produktif masih produktif, tetapi tidak layak untuk
dijadikan satu unit ijin usaha.
•
Kawasan
hutan produksi yang tidak produktif, harus berupa tanah kosong, alang-alang
dan/atau semak belukar.
Dalam hal kegiatan
restorasi ekosistem dalam hutan alam belum diperoleh keseimbangan, dapat
diberikan IUPK, IUPJL atau IUPHHBK pada hutan produksi. Dalam hal kegiatan
restorasi ekosistem dalam hutan alam telah diperoleh keseimbangan, dapat
diberikan IUPHHK pada hutan produksi. IUPK, IUPJL, IUPHHK atau IUPHHBK
diberikan kepada badan usaha milik swasta (BUMS).
d. Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman
Pemanfaatan hasil hutan
kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi dapat dilakukan pada :
1) Hutan Tanaman Industri
(HTI)
Hutan tanaman industri
adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri
kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi denga
menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri
hasil hutan.
Pada hutan produksi,
pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman, dapat dilakukan
dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik
sumberdaya hutan dan lingkungannya. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam
hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI
dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif.
Tanaman yang dihasilkan
dari IUPHHK pada HTI merupakan aset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan
agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku. Pemerintah, sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, dapat membentuk lembaga keuangan untuk mendukung
pembangunan HTI. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam
hutan tanaman dapat berupa tanaman sejenis dan tanaman berbagai jenis.
2) Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Hutan tanaman rakyat
adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat
untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan
silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan.
Menteri Kehutanan,
dalam hutan tanaman pada hutan produksi, mengalokasikan dan menetapkan areal
tertentu untuk membangun HTR, berdasarkan usulan KPH atau pejabat yang
ditunjuk. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam
hutan tanaman dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur sesuai
dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya. Pemanfaatan hasil
hutan kayu pada HTRdalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan,
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran.
Pemanfaatan hasil hutan
kayu pada HTR dalam hutan tanaman, dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif.
Tanaman yang dihasilkan dari IUPHHK pada HTR merupakan asset pemegang izin
usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku.
Pemerintah, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, membentuk lembaga
keuangan untuk mendukung pembangunan HTR.
Pemanfaatan hasil hutan
kayu pada HTR dalam hutan tanaman dapat berupa: tanaman sejenis dan tanaman
berbagai jenis.
Untuk melindungi
hak-hak HTR dalam hutan tanaman, Menteri Kehutanan metapkan harga dasar
penjualan kayu pada HTR.
3) Hutan Tanaman Hasil
Rehabilitasi (HTHR).
Hutan tanaman hasil
rehabilitasi adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun melalui
kegiatan merehabilitasi lahan dan hutan pada kawasan hutan produksi untuk
memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, produktivitas dan
peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan.
Pada hutan produksi,
berdasarkan rencana pengelolaan KPH, usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada
HTHR dalam hutan tanaman dilakukan melalui penjualan tegakan. Kegiatan
penjualan tegakan, meliputi kegiatan pemanenan, pengamanan dan pemasaran.
Penjualan tegakan dilakukan dalam satu kesatuan luas petak yang diusulkan oleh
Kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kehutanan.
Dalam kawasan hutan
pada HTHR yang telah dilakukan penjualan tegakan, Menteri atau pejabat yang
ditunjuk dapat memberikan IUPHHK pada HTI atau IUPHHK pada HTR kepada
perorangan, koperasi, BUMN atau BUMS. Kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu pada HTI atau HTR oleh perorangan, Koperasi, BUMN atau BUMS. Selanjutnya,
BUMN, BUMS, BUMD, Koperasi atau perorangan sebagai pemegang izin harus membayar
harga tegakan yang dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Bagi Koperasi yang anggotanya memiliki investasi saat
rehabilitasi, harga tegakan yang dipungut, harus dibayar oleh masing-masing
anggota sesuai dengan besar investasinya setelah dilakukan pembagian laba usaha
secara proporsional dengan Pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota.
e. Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam
Pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi, antara lain berupa
pemanfaatan:
1) Rotan, sagu, nipah,
bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan,
pengamanan dan pemasaran hasil.
2) Getah, kulit kayu,
daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan,
pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil.
f.
Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Tanaman
Pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi, antara lain berupa
pemanfaatan:
1) Rotan, sagu, nipah,
bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan
dan pemasaran hasil.
2) Getah, kulit kayu,
daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan,
pemanenan, pengamanan dan pemasaran hasil.
Pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu pada hutan tanaman dapat pula dilakukan terhadap hutan tanaman hasil
kegiatan rehabilitasi atau HTHR.
g. Pemungutan Hasil Hutan
Kayu dalam Hutan Alam
1) Pemungutan hasil hutan
kayu dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan fasilitas umum kelompok masyarakat setempat, dengan ketentuan
paling banyak 50 meter kubik dan tidak untuk diperdagangkan.
2) Pemungutan hasil hutan
bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan untuk memenuhi
kebutuhan individu, dengan ketentuan paling banyak 20 meter kubik untuk setiap
kepala keluarga dan tidak untuk diperdagangkan.
h. Pemungutan Hasil Hutan
Bukan Kayu dalam Hutan Alam
Pemungutan Hasil Hutan
Bukan Kayu dalam Hutan Alam pada hutan produksi diberikan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat setempat dan dapat diperdagangkan. Pemungutan hasil hutan
bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat berupa pemungutan rotan,
madu, getah, buah, biji, daun, gaharu, kulit kayu, tanaman obat dan
umbi-umbian, dengan ketentuan paling banyak 20 ton untuk setiap kepala
keluarga. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam yang dilakukan
terhadap tumbuhan liar dan/atau satwa liar harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
i.
Pemungutan
Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Tanaman
Pemungutan hasil hutan
bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi diberikan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat setempat dan dapat diperdagangkan. Pemungutan ini dapat
pula dilakukan terhadap hutan tanaman hasil rehabilitasi (HTHR). Pemungutan ini
dapat berupa pemungutan rotan, madu, getah, buah,atau biji, daun gaharu, kulit
kayu, tanaman obat dan umbi-umbian, dengan ketentuan paling banyak 20 ton untuk
setiap kepala keluarga. Pemungutan yang berupa tumbuhan liar dan satwa liar
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
1.2.3 Pemanfaatan hutan pada
Hutan Konservasi
Pada hutan konservasi,
pemanfaatan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam dilakukan secara
lestari bagi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
a. Pemanfaatan pada
kawasan suaka alam
Pemanfaatan
pada kawasan suaka alam meliputi pemanfaatan di kawasan cagar alam dan kawasan
suaka margasatwa.
Kawasan
cagar alam dapat dimanfaatkan untuk keperluan:
1) Penelitian dan
pengembangan
Kegiatan
penelitian dan pengembangan meliputi kegiatan penelitian dasar dan penelitian
untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya.
2) Ilmu pengetahuan
Kegiatan
ilmu pengetahuan dilakukan dalam bentuk pengenalan dan peragaan ekosistem cagar
alam.
3) Pendidikan
Kegiatannya
dilakukan dalam bentuk pengenalan dan peragaan ekosistem cagar alam
4) Kegiatan penunjang
budidaya
Kegiatan
ini dilakukan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan, dan atau penggunaan
plasma nutfah tumbuhan dan satwa yang terdapat dalam kawasan cagar alam.
Pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Kawasan
suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk keperluan:
1) Penelitian dan
pengembangan
Kegiatannya
meliputi kegiatan penelitian dasar dan penelitian untuk menunjang pemanfaatan
dan budidaya.
2) Ilmu pengetahuan
Dilaksanakan
dalam bentuk pengenalan dan peragaan ekosistem suaka marga satwa.
3) Pendidikan
Dapat
dilaksanakan dalam bentuk pengenalan dan peragaan ekosistem suaka marga satwa.
4) Wisata alam terbatas
Meliputi
kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam dan perilaku satwa
di dalam kawasan suaka margasatwa dengan persyaratan tertentu.
5) Kegiatan penunjang
budidaya
Dilakukan
dalam bentuk pengambilan, pengangkutan, dan atau penggunaan plasma nutfah
tumbuhan dan satwa yang terdapat dalam kawasan cagar alam. Ketentuan tentang
pengambilan, pengangkutan, dan penggunaan plasma nutfah dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pemanfaatan pada
kawasan pelestarian alam
Meliputi
pemanfaatan di Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Kawasan
Taman Nasional dapat dimanfaatkan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya.
1) Zona inti dapat
dimanfaatkan untuk keperluan:
•
Penelitian
dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;
•
Ilmu
pengetahuan;
•
Pendidikan,
dan atau
•
Kegiatan
penunjang budidaya.
2) Zona pemanfaatan dapat
dimanfaatkan untuk keperluan:
•
Pariwisata
dan rekreasi alam
•
Penelitian
dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;
•
Pendidikan,
dan atau
•
Kegiatan
penunjang budidaya.
3) Zona rimba dapat
dimanfaatkan untuk keperluan:
•
Penelitian
dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;
•
Ilmu
pengetahuan;
•
Pendidikan,
•
Kegiatan
penunjang budidaya,
•
Wisata
alam terbatas.
Kawasan
Taman Hutan Raya dapat dimanfaatkan untuk keperluan:
1) Penelitian dan
pengembangan
2) Ilmu pengetahuan;
3) Pendidikan,
4) Kegiatan penunjang
budidaya,
5) Pariwisata alam dan
rekreasi,
6) Pelestarian budaya
Kawasan
Taman Wisata Alam dapat dimanfaatkan untuk keperluan:
1) Pariwisata dan rekreasi
alam
2) Penelitian dan
pengembangan yang menunjang pemanfaatan;
3) Pendidikan,
4) Kegiatan penunjang
budidaya.
1.3
Penggunaan Kawasan
Hutan
Penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan adalah
penggunaan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan antara lain,
kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, instalasi air,
dan kepentingan religi serta kepentingan pertahanan keamanan.
1.4
Rehabilitasi dan
Reklamasi Hutan
1.4.1
Rehabilitasi
hutan dan lahan
1.4.1.1 Rehabilitasi Hutan
Rehabilitasi hutan
diselenggarakan melalui kegiatan :
a. Reboisasi
Reboisasi meliputi
kegiatan persemaian/pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengamanan dan
kegiatan pendukung.
Reboisasi dilakukan di
dalam kawasan :
1)
Hutan
Lindung
Reboisasi
di dalam kawasan hutan lindung ditujukan untuk memulihkan fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah.
2)
Hutan
Produksi
Reboisasi di dalam
kawasan hutan produksi ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan
produksi.
3)
Hutan
Konservasi
Reboisasi di dalam
kawasan hutan konservasi ditujukan untuk pembinaan habitat dan peningkatan
keanekaragaman hayati.
b. Pemeliharaan Tanaman
Pemeriksaan tanaman
dilaksanakan oleh :
1) Pemerintah pusat untuk
kawasan hutan konservasi,
2) Pemerintah
kabupaten/kota atau Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk kawasan hutan produksi dan
hutan lindung,
3) Pemerintah provinsi
atau pemerintah kabupaten/kota untuk taman hutan raya sesuai dengan
kewenangannya,
4) Pemegang hak atau izin
untuk kawasan hutan yang telah dibebani hak atau izin.
Sumber dana untuk
melakukan pemeliharaan dibebankan kepada:
1) Pemerintah pusat untuk
kawasan hutan konservasi,
2) Pemerintah
kabupaten/kota atau Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk kawasan hutan produksi dan
hutan lindung,
3) Pemerintah provinsi
atau pemerintah kabupaten/kota untuk taman hutan raya sesuai dengan
kewenangannya,
4) Pemegang hak atau izin
untuk kawasan hutan yang telah dibebani hak atau izin.
Pemeliharaan tanaman
pada hutan produksi dan hutan lindung didanai oleh pemerintah dan dilaksanakan
sejak tahun pertama sampai dengan tahun ketiga. Pemeliharaan tanaman pada hutan
produksi dan hutan lindung setelah tahun ketiga diserahkan oleh pemerintah
kepada pemerintah kabupaten/kota atau Kesatuan Pengelolaan Hutan. Pemeliharaan
tanaman dilakukan melalui perawatan dan pengendalian hama dan penyakit.
c.
Pengayaan
Tanaman
Pengayaan tanaman
ditujukan untuk meningkatkan produktivitas hutan. Pengayaan tanaman dilakukan
melalui pemanfaatan ruang tumbuh secara optimal dengan memperbanyak jumlah dan
keragaman jenis tanaman. Pengayaan tanaman dilaksanakan pada hutan rawang, baik
di hutan produksi, hutan lindung, maupun hutan konservasi, kecuali pada cagar
alam dan zona inti taman nasional. Pengayaan tanaman meliputi kegiatan:
1) Persemaian/pembibitan
2) Penanaman
3) Pemeliharaan tanaman
4) Pengamanan.
d. Penerapan Teknik
Konservasi Tanah
Penerapan teknik
konservasi tanah dilakukan secara sipil teknis. Selain teknik konservasi tanah
secara sipil teknis, penerapan teknik konservasi tanah dapat dilakukan melalui
melalui teknik kimiawi.
1.4.1.2
Rehabilitasi Lahan
Rehabilitasi lahan
diselenggarakan melalui kegiatan:
a. Penghijauan
Penghijauan dilakukan
di luar kawasan hutan ditujukan untuk memulihkan dan meningkatkan produktivitas
lahan yang kondisinya rusak agar dapat berfungsi secara optimal. Penghijauan
dilakukan dengan cara membangun hutan hak, hutan kota, atau penghijauan
lingkungan. Penghijauan meliputi kegiatan persemaian/pembibitan, penanaman,
pemeliharaan tanaman, dan pengamanan.
b. Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan tanaman
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota atau pemegang hak. Pemeliharaan
tanaman dilakukan melalui perawatan dan pengendalian hama dan penyakit.
c.
Pengayaan
tanaman
Pengayaan tanaman
ditujukan untuk meningkatkan produktivitas lahan. Pengayaan tanaman dilakukan
melalui pemanfaatan ruang tumbuh secara optimal dengan memperbanyak jumlah dan
keragaman jenis tanaman. Pengayaan tanaman dilaksanakan pada hutan hak, yang
meliputi kegiatan:
1) Persemaian/pembibitan
2) Penanaman
3) Pemeliharaan tanaman
4) Pengamanan.
d. Penerapan teknik
konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis dan tidak
produktif
Penerapan teknik
konservasi tanah dilakukan secara:
1) Vegetatif
2) Sipil teknis
3) Teknik kimiawi
1.4.2
Reklamasi
Hutan
Pelaksananaan reklamasi
hutan dilakukan oleh pemegang izin penggunaan kawasan hutan berdasarkan rencana
reklamasi yang telah disetujui oleh Menteri teknis, gubernur atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pengamanan hasil reklamasi hutan
menjadi tanggung jawab pemegang izin penggunaan kawasan hutan.
Untuk menjamin
keberhasilan pelaksanaan reklamasi hutan, pemegang izin penggunaan kawasan
hutan wajib membayar dana jaminan reklamasi. Besarnya dana jaminan reklamasi
diusulkan oleh pemegang izin dan ditetapkan oleh menteri teknis, gubernur,
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya setelah mendapat pertimbangan dari
Menteri Kehutanan. Bentuk dan jaminan reklamasi diusulkan oleh pemegang izin
penggunaan kawasan hutan dan harus mendapat persetujuan dari menteri teknis,
gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Reklamasi hutan akibat
akibat bencana alam dalam kawasan hutan dapat terjadi secara murni, atau
sebagai akibat kelalaian pemegang hak pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan.
Reklamasi hutan pada areal bencana alam dilakukan pada semua kawasan hutan
kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Reklamasi hutan pada areal
bencana alam secara murni menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah
daerah. Reklamasi hutan pada areal bencana alam sebagai akibat kelalaian
pemegang hak pengelolaan atau pemegang izin pemanfaatan hutan dalam mengelola
kawasan hutan menjadi tanggung jawab pemegang hak atau izin.
Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dapat
memberikan fasilitas dalam pelaksanaan reklamasi hutan yang dilakukan oleh
pemegang hak pengelolaan dan/atau pemegang izin pemanfaatan hutan.
1.5
Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam
Kegiatan perlindungan
hutan dilaksanakan pada wilayah hutan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP). Perlindungan hutan menjadi kewenangan pemerintah pusat
atau pemerintah daerah. Kegiatan perlindungan hutan di wilayah dan untuk
kegiatan tertentu, dapat dilimpahkan oleh pemerintah kepada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kehutanan.
Dalam rangka
kepentingan penelitian, pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan,
religi dan budaya, Menteri Kehutanan menetapkan perlindungan hutan dengan
tujuan khusus. Perlindungan hutan pada kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk
kegiatan:
a. Penelitian dan
pengembangan dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan kegiatan
penelitian dan pengembangan,
b. Pendidikan dan
pelatihan dapat diberika kepada lembaga yang melaksanakan kegiatan pendidikan
dan pelaitahn,
c.
Religi
dan budaya dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan kegiatan keagamaan
dan kebudayaan.
Penyelenggaraan
perlindungan hutan bbertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan
dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi,
tercapai secara optimal dan lestari. Prinsip-prinsip perlindungan hutan
meliputi:
a. Mencegah dan membatasi
kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan
manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.
b. Mempertahankan dan
menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan,
hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan
hutan.
Pelaksanaan
perlindungan hutan antara lain:
a. Mencegah dan membatasi kerusakan
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia.
b. Perlindungan hutan atau
hasil hutan
c.
Perlindungan
hutan dari gangguan ternak
d. Perlindungan hutan dari
daya-daya alam
e. Perlindungan hutan dari
hama dan penyakit.
2. Pengelolaan Hutan
Berdasarkan Waktu
Pengelolaan hutan
berdasarkan waktu dapat digambarkan dengan jenis-jenis dan jangka waktu
perizinan pemanfaatan hutan produksi yang akan diuraikan di bawah ini:
a. Jenis-jenis Perizinan
Pemanfaatan Hutan Produksi.
Jenis-jenis perizinan
di bidang pemanfaatan hutan produksi meliputi:
1) Izin Usaha Pemanfaatan
Kawasan (IUPK)
2) Izin Usaha Pemanfaatan
Jasa Lingkungan (IUPJL)
3) Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)
4) Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK)
5) Izin Pemungutan Hasil
Hutan Kayu (IPHHK)
6) Izin Pemungutan Hasil
Hutan Bukan Kayu (IPHHBK).
b. Jangka waktu izin
pemanfaatan hutan pada hutan produksi.
1) Jangka waktu IUPK pada
hutan produksi diberikan paling lama 5 tahun sesuai dengan jenis usahanya dan
dapat diperpanjang.
•
Perpanjangan
IUPK diberikan berdasarkan evaluasi yang
dilakukan setiap 1 tahun oleh pemberi izin.
•
IUPK
diberikan dengan ketentuan:
ü
Paling
luas 50 ha
ü
Setiap
perorangan atau koperasi dapat memiliki paling banyak 2 izin untuk setiap
kabupaten/kota.
2) Jangka waktu IUPJL pada
hutan produksi ditentukan sebagai berikut:
•
Usaha
pemanfaatan jasa aliran air diberikan paling lama 25 tahun dengan volume paling
tinggi 20 persen dari debit air permukaan yang tersedia, dengan ketentuan tidak
mengurangi hak publik.
•
Usaha
pemanfaatan jasa aliran air diberikan paling lama 10 tahun dengan luas paling
tinggi 10 persen dari blok pemanfaatan.
•
Usaha
pemanfaatan perlindungan keanekaragaman hayati diberikan paling lama 50 tahun
dengan luas sesuai kebutuhan investasi.
•
Usaha
penyelamatan dan perlindungan lingkungan dan luas arealnya diberikan sesuai
dengan kebutuhan.
•
Usaha
penyerapan karbon dan usaha penyimpanan karbon diberikan paling lama 30 tahun dengan
luas sesuai kebutuhan investasi.
•
IUPJL
dapat diperpanjang berdasar evaluasi yang dilakukan setiap 5 tahun oleh
menteri.
Catatan:
Berdasarkan PP no.3
tahun 2008 tentang Perubahan PP Nomor 6 tahun 2007, ketentuan jangka waktu
perizinan diubah menjadi sebagai berikut:
•
IUPJL
aliran air paling lama 10 tahun.
3) Jangka waktu perizinan IUPHHK
dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan paling lama 50 tahun.
IUPHHK dalam hutan alam
dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap 5 tahun oleh
menteri.
4) Jangka waktu IUPHHK
restorasi ekosistem hutan alam pada hutan produksi diberikan paling lama 100
tahun
•
IUPHHK
restorasi dalam hutan alam pada hutan produksi dievaluasi setiap 5 tahunoleh
Menteri sebagai dasar kelangsungan izin.
•
IUPHHK
restorasi ekosistem dalam hutan pada hutan produksi hanya dapat diberikan satu
kali dan tidak dapat diperpanjang.
Catatan:
Berdasarkan PP no.3
tahun 2008 tentang perubahan PP no.6 tahun 2007, ketentuan luas telah diubah
menjadi:
Jangka waktu perizinan
paling lama 35 tahun.
5) Jangka waktu IUPHHK
pada HTI dalam hutan tanaman pada hutan produksi
•
IUPHHK
pada HTI dalam hutan tanaman pada hutan
produksi diberikan paling lama 100 tahun
•
IUPHHK
pada HTI dalam hutan tanaman dievaluasi
tiap 5 tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin.
•
IUPHHK
pada HTI dalam hutan tanaman hanya
diberikan sekali dan tidak diperpanjang
Catatan:
Berdasarkan PP no.3
tahun 2008 tentang perubahan PP no.6 tahun 2007, ketentuan tersebut diubah
menjadi:
•
Jangka
waktu IUPHHK pada HTI diberikan untuk jangka waktu paling lama 60 tahun dan
dapat diperpanjang satu kali selama 35 tahun.
•
Namun
pada pasal 53 ayat 3 PP Nomor 3 tahun 2008, ditetapkan bahwa IUPHHK pada HTI
dalam hutan tanaman hanya diberikan sekali dan tidak diperpanjang.
6) Jangka waktu IUPHHK
pada HTR dalam hutan tanaman pada hutan produksi
•
IUPHHK
pada HTR dalam hutan tanaman pada hutan
produksi diberikan paling lama 100 tahun
•
IUPHHK
pada HTR dalam hutan tanaman dievaluasi
tiap 5 tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin.
7) Jangka waktu IUPHHK
pada HTHR dalam hutan tanaman pada hutan produksi
•
IUPHHK
pada HTHR dalam hutan tanaman pada hutan
produksi diberikan paling lama 1 tahun
•
IUPHHK
pada HTHR dalam hutan tanaman dapat
diperpanjang berdasarkan evaluasi tiap 6 bulan oleh Menteri.
8) Jangka waktu IUPHHBK
dalam hutan alam pada hutan produksi
IUPHHBK dalam hutan
alam pada hutan produksi diberikan paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang
berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap tahun oleh pemberi izin.
Catatan:
Berdasarkan PP no.3
tahun 2008 tentang perubahan PP no.6 tahun 2007, ketentuan tersebut diubah
menjadi:
•
Jangka
waktu IUPHHBK dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan untuk jangka waktu
paling lama 25 tahun.
9) Jangka waktu IUPHHBK
dalam hutan alam atau hutan tanaman pada hutan produksi
IUPHHBK
dalam hutan alam atau hutan tanaman pada hutan produksi diberikan paling lama
10 tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap
tahun oleh pemberi izin.
Catatan:
Berdasarkan
PP no.3 tahun 2008 tentang perubahan PP no.6 tahun 2007, ketentuan jangka waktu
tersebut diubah menjadi 25 tahun.
10) Jangka waktu IPHHK dan
IPHHBK dalam hutan alam pada hutan produksi
•
IPHHK
dan IPHHBK dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan paling lama 1 tahun.
•
IPHHK
dapat diperpanjang
•
IPHHBK
dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi tiap 6 bulan oleh pemberi izin.
Berdasarkan ketentuan
di atas, maka jangka waktu perizinan dapat dibuat ikhtisat sebagaimana
diberikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Ikhtisar
Jangka Waktu Perizinan Pemanfaatan Hutan Produksi
No
|
Jenis
izin
|
Berdasarkan PP no.6 tahun 2007
|
Berdasarkan PP no.3 tahun 2008
|
1.
|
IUPJL
a. Aliran air
b. Air
c. Wisata alam
d. Perlindungan dan
keanekaragaman hayati
e. Penyelamatan dan
perlindungan lingkungan
f. Penyerapan karbon dan
penyimpanan karbon
|
25
tahun
10
tahun
35
tahun
50
tahun
Sesuai
kebutuhan
30
tahun
|
10
tahun
10
tahun
35
tahun
50
tahun
sda
sda
|
2.
|
IUPHHK
dalam hutan alam
|
50
tahun
|
50
tahun
|
3.
|
IUPHHK
restorasi ekosistem
|
100
tahun
|
60
tahun
+
35 tahun *)
|
4.
|
IUPHHK
HTI
|
100 tahun
|
60
tahun
+
35 tahun *)
|
5.
|
IUPHHK
HTR
|
100 tahun
|
60
tahun
+
35 tahun *)
|
6.
|
IUPHHK
HTHR
|
1 tahun
|
1 tahun
|
7.
|
IUPHHBK
dalam hutan alam
|
10 tahun
|
10 tahun
|
8.
|
IUPHHBK
dalam hutan tanaman
|
10 tahun
|
25 tahun
|
9.
|
IPHHK
dalam hutan alam
|
1 tahun
|
1 tahun
|
10.
|
IPHHBK
dalam hutan alam
|
1 tahun
|
1 tahun
|
Catatan: *)
Dalam pasal yang sama
tetapi ayat yang berbeda dinyatakan bahwa izin tersebut tidak dapat
diperpanjang.
3.
Rangkuman
3.1
Pengelolaan hutan
berdasarkan ruang
a. Pengelolaan hutan
berdasarkan ruang dapat digambarkan berdasarkan kegiatan pengelolaan hutan pad
tingkat Kesatuan Pengelolaan Hutan. Selanjutnya disingkat KPH, yaitu wilayah
pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola
secara efisien dan lestari. KPH tersebut meliputi KPHK, KPHL dan KPHP.
b. Kegiatan pengelolaan
hutan pada setiap KPH meliputi:
1) Tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolan hutan,
2) Pemanfaatan hutan
3) Penggunaan kawasan
hutan
4) Rehabilitasi dan
reklamasi hutan
5) Perlindungan hutan dan
konservasi alam
3.2
Pengelolaan hutan
berdasarkan waktu
Pengelolaan hutan
berdasarkan waktu dapat digambarkan denga jenis-jenis dan jangka waktu
perizinan pemanfaatan hutan produksi di bawah ini:
1) Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK)
2) Izin Usaha Pemanfaatan
Jasa Lingkungan (IUPJL)
3) Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)
4) Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK)
5) Izin Pemungutan Hasil
Hutan Kayu (IPHHK)
6) Izin Pemungutan Hasil
Hutan Bukan Kayu (IPHHBK).
4.
Tugas
No
|
Uraian
tugas
|
Tahapan
penyelesaian
|
Hasil
tugas
|
a.
|
Analisis
contoh kasus pengelolaan hutan berdasarkan ruang
|
1. Carilah contoh kasus
di internet atau media lainnya tentang pengelolaan hutan berdasarkan ruang.
2. Diskusikan dan
analisis contoh tersebut secara berkelompok, apakah sudah sesuai peraturan
atau belum.
3. Buatlah kesimpulan
dari hasil diskusi tersebut.
|
Tulisan
hasil analisis tentang pengelolaan hutan berdasarkan ruang
|
b.
|
Analisis
contoh kasus pengelolaan hutan berdasarkan waktu
|
1.
Carilah
contoh kasus di internet atau media lainnya tentang pengelolaan hutan
berdasarkan waktu.
2.
Diskusikan
dan analisis contoh tersebut secara berkelompok, apakah sudah sesuai
peraturan atau belum.
3.
Buatlah
kesimpulan dari hasil diskusi tersebut.
|
Tulisan
hasil analisis tentang pengelolaan hutan berdasarkan waktu
|
5. Tes Formatif
BAB
III. Ruang Lingkup Pengelolaan DAS
Tujuan
dari pembelajaran ini adalah:
Setelah
mengikuti pembelajaran, peserta didik dapat (1)
menjelaskan pengertian DAS, (2) menjelaskan ruang lingkup DAS, dan (3)
menjelaskan karakteristik DAS.
Hingga saat ini selalu
dijelaskan bahwa hutan merupakan tempat penyimpanan air yang berasal \dari air hujan yang
diserap oleh pepohonan dan tumbuh-tumbuhan yang ada di dalamnya. Hutan yang
berada di daerah pegunungan atau perbukitan seringkali sebagai sumber mata air
yang akan mengalir ke daerah-daerah yang lebih rendah melalui aliran mata air,
sungai kecil, sungai besar, melewati daerah daratan hingga ke laut. Aliran mata
air tersebut akan bersatu dengan curah hujan yang akan melewati daerah-daerah
aliran air dari hulu hingga hilir sungai, yang umumnya disebut dengan daerah
aliran sungai.
Menurut UU no.7 tahun
2004 tentang sumberdaya air, daerah aliran sungai (DAS), adalah suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang
berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau laut secar alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktifitas di daratan. Dengan demikian dikenal istilah Sub DAS yaitu
bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke
sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS-Sub DAS.
Berdasarkan hamparan di
wilayahnya, DAS terbagi menjadi 4 meliputi:
1. DAS Lokal : terletak
secara utuh berada di satu daerah kabupaten/kota.
2. DAS regional : letaknya
secara geografis melewati lebih dari satu daerah kabupaten/kota
3. DAS nasional : letaknya
secara geografis melewati lebih dari satu daerah provinsi,
4. DAS lintas negara,
letaknya secara geografis melewati lebih dari satu negara. Indonesia hanya
memiliki DAS lintas negara di wilayah timur yang berbatasan dengan negara Timor
Leste dan Papua New Guinea.
Disadari atau tidak,
setiap manusia tinggal dan hidup di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) . mereka bekerja dan menggantungkan hidupnya
pada sumber daya alam serta ketersediaan air di DAS tersebut . apabila dibagian
hulu mengalami kerusakan akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak sesuai
dengan peruntukannya, maka bencana dan kerugian akan dirasakan dibagian hilirnya. Hlu dan hilir
merupakan istilah yang berkaitan erat dengan DAS, namun secara pengertian,DAS
merupakan satu kesatuan utuh yang tidak hanya berada sepanjang sungai, namun
merupakan satu kesatuan utuh yang tidak hanya berada di sepanjang sungai, namun
merupakan daerah daratan dalam arti luas yang dapat menampung air dan curah
hujan.
DAS merupakan satu
kesatuan ekosistem yang komponen utamanya terdiri atas sumberdaya alam
tanah,air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat
sumberdaya alam tersebut . gangguan terhadap salah satu komponen di bagian hulu
akan dirasakan oleh komponen lainnya di bagian hilir . untuk itu, diperlukan
upaya pengelolaan DAS oleh manusia dalam
mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di
dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan
keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi
manusia secara berkelanjutan.contoh yang sering diberitakan dalam media massa
seperti aliran air sungai yang berasal dari bogor seringkali menjadi banjir
kiriman ke daerah ibukota di jakarta sebagai daerah hilirnya.
Dengan memperhatikan
begitu pentingya DAS dalam mendukung kelangsungan hidup manusia, maka
diperlukan suatu pengelolaan DAS, yaitu upaya dalam mengelola hubungan timbal
balik antar sumber daya alam terutama vegetasi ,tanah dan air dengan sumberdaya
manusia di DAS dan segala aktifitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan
jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekposistem DAS.
Pengelolaan DAS harus ditunjukkan untuk :
a) Mewujudkan kondisi tata
air DAS yang optimal/terbaik meliputi kuantitas,kualitas dan distribusinya
menurut ruang dan waktu
b) Mewujudkan kondisi
lahan yang produktif secara berkelanjutan
c) Mewujudkan
kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan
Beberapa
prinsip dasar dalam pengelolaan DAS adalah (a) DAS sebagai suatu kesatuan
ekosistem dari hulu sampai hilir, satu kesatuan perencanaan dan satu
pengelolaan, (b) multipihak, koordinatif, menyeluruh dan berkelanjutan, (c)
adaptif sesuai dengan karasteristik DAS, (d) pembagian beban biaya dan manfaat
antar multipihak secara adil serta (e) akuntabel.
Tidak
optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan kurangannya sinkronisasi antar
sektor dan antar wilayah dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya DAS
tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendir dengan tujuan
yang kadangkala betolak belakang. Sulitnya
koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa setelah adanya otonomi daerah
berlomba-lomba memacu meningkatakan pendapatan asli daerah (PAD) dengan
memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Permasalahan ego-sektoral dan
ego-kedaerahan ini akan sangta komplek pada DAS yang berada pada lintas
kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki
kinerja pengelolaan DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS terpadu adalah
rangkaian upaya perumusan tujuan,sinkronisasi program,pelaksanaan dan
pengendalian pengelolaan sumber daya DAS lintas para pemangku kepentingan
secara partisipatif berdaskan kajian kondisi biofosik,ekonomi,sosial,politik
dan kelembagaan guan mewujudkan tujuan pengelolaan DAS. Dengan kata
lain,pengelolaan DAS terpadu diharapkan dapat melakukan kajian secara
intergratif dan menyeluruh terhadap permasalahan yang ada,upaya pemanfaatan dan
konservasi sumberdaya alam skala DAS secara efektif dan efisisen.
Pengelolaan
DAS terpadu tersebut meliputi:
a) Keterpaduan dalam proses
perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan dan penetapan rencana
kegiatan di das.
b) Keterpaduan dalam
program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan program-program
kegiatan di das, termasuk memadukan waktu pelaksanaan, lokasi dan pendanaan
serta mekanismenya.
c) Keterpaduan
program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan das,
sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah.
d) Keterpaduan dalam
pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses evaluasi dan
monitoring.
e) Keterpaduan dalam
pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan.
Dengan
model pengelolaan DAS terpadu, maka saat ini telah dibentuk kelembagaan
pengelolaan DAS yang secara bersama-sama melakukan koordinasi dalam pengelolaan
DAS, yang disebut FORUM DAS di tingkat pusat dan daerah. FORUM DAS yaitu wadah
koordinasi pengelolaan DAS yang merupakan organisasi para pemangku kepentingan
yang terkoordinasi dan dilegalisasi oleh presiden, gubernur atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk mengelola DAS di wilayahnya.
Para pemangku kepentingan ini adalah pihak-pihak terkait yang terdiri dari
unsur pemerintah dan bukan pemerintah yang berkepentingan dan patut
diperhitungkan dalam pengelolaan DAS, termasuk masyarakat di sepanjang DAS dari
bagian hulu hingga ke hilir.
2. Ruang Lingkup Pengelolaan DAS
Secara
umum, ruang lingkup pengelolaan DAS meliputi perencanaan, pengorganisasian,
implementasi/pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap upaya-upaya pokok
pengelolaan DAS. Apabila dijabarkan, maka ruang lingkup pengelolaan DAS seperti
dijelaskan sebagai berikut:
2.1 Pengelolaan ruang melalui usaha pengaturan penggunaan lahan
(landuse) dan konservasi tanah dalam arti yang luas.
Umumnya,
bagian hulu DAS merupakan daerah dengan ciri bentang alam berupa pegunungan
atau perbukitan dengan keadaan topografi mulai dari sedang hingga sangat curam.
Di daerah ini seringkali ditemui konflik kepentingan atas penggunaan lahan
terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan serta pemukiman.
Denga melihat hal tersebut, maka penutupan pepohonan, vegetasi dan
tumbuh-tumbuhan di daerah ini harus diatur sedemikian rupa sehingga jumlah
luasnya tidak berkurang atau lebih sedikit dibanding dengan penutupan jenis
lainnya.
Proses
perencanaan peruntukan lahan sebagai bagian dari kegiatan penatagunaan lahan di
bagian hulu dan sepanjang DAS akan menentukan bentuk penutupan lahan di masa
selanjutnya. Apabila penatagunaan lahan di sepanjang DAS tetap menjaga luasan
lahan yang dapat mempertahankan air hujan di dalam tanah, maka jumlah curah
hujan akan tersimpan lebih banyak yang dialirkan secara perlahan ke daerah
hilir. Seperti dijelaskan dalam UU Kehutanan No 41 tahun 1999, dikatakan bahwa
luas kawasan hutan dan penutupan hutan yang harus dipertahankan sebanyak 30%
dari luas DAS dengan sebaran yang proporsional. Pada wilayah yang memiliki
daerah-daerah pegunungan yang lebih banyak, luas kawasan hutan dan tutupan
hutan yang dipertahankan dalam DAS seharusnya lebih besar persentasenya dari
angka tersebut di atas.
Beberapa
hal yang berkaitan dengan DAS, yang diatur dalam undang-undang kehutanan no 41
tahun 1999, di antaranya tidak boleh menebang pohon dengan radius atau jarak
sampai dengan:
a) 500 m dari tepi waduk
atau danau
b) 200 m dari tepi mata
air dan kiri kanan sungai di daerah rawa
c) 100 m dari kiri kanan
tepi sungai
d) 50 m dari kiri kanan
tepi anak sungai
e) 2 m dari kedalaman
jurang dari tepi jurang
f)
130
kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
Mengingat bahwa DAS
bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan dan relatif rentan terhadap
perubahan penggunaan lahan, maka setiap kesalahan penatagunaan lahan akan
berdampak negatif pada bagian hilirnya. DAS di bagian hulu seharusnya
diperuntukkan untuk usaha konservasi yang mencakup aspek-aspek yang berhubungan
dengan suplai air, sebagai daerah ekosistem tangkapan air (catchment
ecosystem) yang merupakan rangkaian dari proses alami daur hidrologi.
2.2 Pengelolaan sumberdaya air melalui konservasi, pengembangan,
penggunaan dan pengendalian daya rusak air.
Air
dibedakan menjadi air permukaan dan air tanah. Berdasarkan penggunaannya, air
dapat dibedakan untuk usaha pertanian, rumah tangga, industri, sumber energi
kinetik yang dapat dirubah menjadi energi mekanik atau energi listrik,
prasarana perhubungan dan untuk pengangkutan. Selama peristiwa hujan, sebagian
air hujan ditahan oleh pepohonan/tanaman sebelum mencapai permukaan tanah dan
sebagian akan menguap ke udara. Di lahan yang ditutupi dengan beragam
pepohonan, air akan ditangkap oleh daun dan ranting yang kemudian diserap
hingga masuk ke dalam tanah dan berkumpul dengan air tanah. Sementara air hujan
yang mengalir langsung di atas permukaan tanah akan mengumpul di sungai, danau,
waduk, saluran atau sumber mata air yang disebut dengan air permukaan (run
off). Kedua tipe air tersebut akan mengalir di sepanjang DAS hingga
akhirnya bermuara ke laut. Pengelolaan sumberdaya air di daerah hulu dan
sepanjang DAS ditujukan untuk memperlambat laju air agar tidak mengumpul ke
bagian hilir dalam waktu yang bersamaan. Ketika permukaan tanah ditutupi oleh
jenis tutupan lahan yang sulit ditembus oleh air, maka curah hujan yang turun
akan menjadi air permukaan yang langsung mengalir ke daerah yang lebih rendah
dalam waktu lebih cepat. Jenis tutupan lahan seperti itu di antaranya berupa
pemukiman, bangunan infrastruktur dan pertanian berotasi tanaman yang cepat.
Dalam
rencana pengelolaan DAS, daerah di sepanjang DAS dibagi menjadi dua satuan
pengelolaan lahan. Satuan pengelolaan hulu mencakup seluruh daerah tadahan (watershed)
atau daerah kepala sungai, sementara satuan pengelolaan hilir mencakup seluruh
daerah penyaluran air atau daerah bawah (commanded area) yang berpotensi
untuk dibuatkan saluran pengairan. Pengelolaan daerah tadahan ditujukan untuk
mencapai hal-hal berikut :
a. Mengendalikan aliran
permukaan yang merusak, sebagai usaha mengendalikan banjir.
b. Memperlancar infiltrasi
air ke dalam tanah.
c.
Mengusahakan
pemanfaatan aliran permukaan untuk maksud-maksud yang berguna.
d. Mengusahakan semua
sumberdaya tanah dan air untuk memaksimumkan produksi.
Meningkatkan infiltrasi
air dimaksudkan untuk memperbesar ‘hasil air’ yang tersimpan masuk ke
dalam tanah. Bentuk lain yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan aliran
permukaan yaitu dengan melakukan pengumpulan dan penyimpanan air hujan di suatu
daerah tadahan yang telah diperlakukan khusus untuk meningkatkan aliran
permukaan ke lahan yang telah dipersiapkan sebagai waduk, tanpa menimbulkan
erosi yang berbahaya.
Teknik-teknik
pengembangan sumberdaya buatan dalam rangka pengelolaan DAS telah banyak
dikembangkan hingga saat ini. Pengembangannya juga diarahkan pada dua daerah
pengelolaan yaitu di daerah hulu sungai dan daerah hilir. Beberapa pengembangan
sumberdaya buatan di antaranya terasering, pembuatan resapan air hujan dan
bangunan stabilisasi.
(1) Terassering
yaitu timbunan tanah
yang dibuat melintang atau memotong kemiringan lahan yang berfungsi untuk
menangkap aliran permukaan, serta mengarahkannya ke daerah yang mantap/stabil
dengan kecepatan yang tidak erosive, sehingga memungkinkan terjadinya
penyerapan air dan berkurangnya erosi
tanah akibat aliran air. Berdasarkan fungsinya, teras dapat dibedakan menjadi 3
jenis yaitu:
a) Teras pengelak (diversion
terrace), mempunyai fungsi utama untuk menangkap aliran permukaan dan
mengalirkannya memotong kontur melalui daerah yang tepat. Teras ini cocok untuk
diterapkan pada lahan dengan kemiringan kecil.
b) Teras retensi (retention
terrace), dibuat apabila diperlukan penyimpanan air dengan menampungnya di
bagian bukit. Dalam hal ini diperlukan bagian tanah datar yang mampu menampung
atau menyimpan aliran permukaan dengan periode ulang 10 tahunan dan tanpa
terjadi limpasan.
c) Teras bangku atau
tangga (bench terrace), dibuat dengan jalan memotong lereng dan
meratakan tanah di bagian bawah sehingga terbentuk suatu deretan anak tangga
atau bangu yang dipisahkan oleh talud. Teras bangku cocok untuk lahan dengan
kemiringan lebih kurang 50% yang masih difungsikan sebagai lahan pertanian.
(2) Pembuatan resapan air
hujan
Bentuk pengembangan ini
diterapkan untuk menanggulangi defisit air tanah yang dilakukan dengan
memperbanyak genangan air untuk mengisi kembali air tanah, misalnya dengan
membuat genangan buatan menggunakan sumber air dari sungai, membuat kolam-kolam
di sekitar rumah, pemanfaatan pipa jaring-jaring drainase yang porus guna
meresapkan air hujan di sekitar rumah dan menyebabkan air pada lahan yang luas
dan sekaligus mengairi pertanian seperti yang telah lama dipraktekkan di Jawa
dan Bali yaitu pada lahan sawah. Cara lain yang sebenarnya telah dilakukan oleh
nenek moyang kita adalah dengan membuat sumur resapan, yaitu dengan membuat
lubang-lubang galian di kebun halaman serta memanfaatkan sumur-sumur yang tidak
terpakai sebagai penampung air hujan.
(3) Bangunan stabilisasi
Bangunan stabilisasi
memiliki peran penting dalam rangka reklamasi dan pengendalian erosi pada parit
atau selokan. Bangunan
stabilisasi yang umumnya dibuat berupa dam penghambat (ckeck dam), balong atau
embung dan rorak. Bangunan-bangunan tersebut berfungsi untuk mengurangi
volume dan kecepatan aliran permukaan di samping juga untuk menambah masukan
air tanah dan air bawah tanah.
Dam penghambat merupakan bangunan yang dibuat dengan posisi
melintang pada parit atau selokan, berfungsi untuk menghambat kecepatan aliran
dan menangkap sedimen yang dibawa aliran sehingga kedalaman dan kemiringan
parit berkurang.
Dam penghambat mempunyai resiko yang tinggi, namun dapat memberikan stabilisasi
sementara dan dapat dikombinasikan dengan sistem agronomi.
Balong atau embung
merupakan waduk kecil yang dibuat di daerah perbukitan dengan kemiringan lahan
kurang dari 30%. Bangunan ini berfungsi untuk menampung aliran permukaan guna
memenuhi kebutuhan air tanaman, ternak dan keperluan lainnya, menampung sedimen
hasil erosi, meningkatkan jumlah air yang meresap ke dalam tanah dan
mendekatkan permasalahan dan penyelesaian konservasi pada masyarakat. Syarat
utama balong atau embung yang efektif yaitu:
a) Kondisi topografi di
tempat balong atau embung yang akan dibangun harus memungkinkan pembangunan
yang ekonomis.
b) Kecukupan air yang
memenuhi syarat
c) Terdapat bahan tanah
yang kedap air
d) Semua balong atau
embung harus dilengkapi fasilitas pelimpah untuk menyalurkan air pada saat
terjadi banjir secara aman
e) Balong atau embung
harus dapat dikeringkan untuk keperluan perbaikan-perbaikan.
Rorak
merupakan bangunan yang dibuat dengan menggali lubang sedalam 60 cm, lebar 50
cm dan panjang 4-5 meter. Rorak dibuat
memanjang sejajar garis kontur atau memotong lereng, jarak ke samping antara
satu rorak dengan rorak lainnya berkisar antara 10 sampai 15 meter, sedangkan
jarak ke arah lereng berkisar antara 10 – 15 meter, sedangkan jarak ke arah
lereng berkisar antara 10 meter untuk lereng yang agak curam sampai 20 meter
untuk lereng yang landai. Bangunan ini berfungsi untuk menangkap air dan tanah
yang terkena erosi, sehingga terjadi pengisian air tanah dan pengurangan laju
erosi.
2.3 Pengelolaan vegetasi yang meliputi pengelolaan hutan dan jenis
vegetasi lainnya yang memiliki fungsi produksi dan perlindungan terhadap tanah
dan air.
Saat
ini, pengelolaan lahan di hampir semua DAS di Indonesia masih belum merujuk
pada bagaimana menggunakan lahan di daerah hulu secara optimal namun tidak
mengakibatkan kerusakan di daerah hilir. Di daerah hilir pun, banyak sekali
ditemui penyempitan-penyempitan DAS akibat jumlah penduduk, kebutuhan
penggunaan lahan dan daerah hilir biasanya banyak dijadikan sebagai tempat
tinggal dan pusat keramaian. Contoh yang terjadi di Wasior Kabupaten Papua
Barat, yang telah menunjukkan bagaiman pengelolaan lahan di bagian hulu DAS
akan berdampak di daerah hilirnya.
Seperti
halnya pengelolaan sumberdaya air, pengelolaan lahan di sepanjang DAS dapat dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu lahan di bagian hulu dan hilir sungai. Pada bagian
hulu yang umumnya mempunyai topografi yang sangat curam hingga sedang,
pengelolaan lahan seharusnya lebih banyak diarahkan pada kegiatan yang
berasaskan konservasi tanah dan air. Kegiatan yang dapat dilakukan di daerah
ini di antaranya tidak merubah penutupan lahan menjadi areal pemukiman dan
jenis tutupan lahan yang menyebabkan aliran permukaan tinggi. Untuk itu,
pengelolaan lahan sebaiknya selaras dengan vegetasi yang ada di atasnya,
diantaranya dengan menanam tanaman penutup tanah dan melakukan penanaman
kembali di sepanjang DAS yang akan memperbanyak jumlah air yang terserap dan
tertahan di dalam tanah. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa kegiatan yang
dapat dilakukan kaitannya dengan usaha perlindungan tanah di sepanjang DAS.
(1) Tanaman Penutup Tanah
Pada dasarnya, semua
jenis tanaman dapat menutup tanah dengan baik, namun jenis tanaman yang harus
dipilih adalah jenis tanaman yang sengaja ditanam untuk melindungi tanah dari
erosi, menambah bahan organik tanah dan sekaligus meningkatkan produktivitas
tanah. Tanaman penutup tanah dapat ditanam secara sendiri atau berkelompok
dengan tanaman pokok atau sebagai pelindung tanaman pokok. Berdasarkan habitus
pertumbuhannya, tanaman penutup tanah dikelompokkan menjadi 5 yaitu:
a) Tanaman penutup tanah
rendah jenis rumput-rumputan dan tumbuhan merambat atau menjalar, biasanya
digunakan pada pola pertanaman rapat
b) Tanaman penutup tanah
sedang berupa semak, digunakan dalam pola pertanaman teratur di antara barisan
tanaman pokok, dalam barisan pagar dan ditanam di luar tanaman pokok sebagai
sumber mulsa atau pupuk hijau.
c) Tanaman penutup tanah
tinggi, digunakan dalam pola pertanaman teratur di antara barisan tanaman pokok
dan digunakan khusus untuk melindungi tebing ngarai dan penanaman kembali.
d) Tumbuhan rendah
alami/semak belukar serta
e) Tumbuhan yang tidak
disukai/rumput pengganggu.
(2) Reboisasi dan
Penghijauan
Reboisasi adalah upaya
penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong,
alang-alang atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan. Sementara
penghijauan adalah upaya pemulihan lahan kritis di luar kawasan hutan secara
vegetatif dan sipil teknis untuk mengembalikan fungsi lahan. Keduanya merupakan
upaya penanaman untuk memperbanyak pepohonan yang dapat memberikan multifungsi
bagi kehidupan manusia. Apabila kegiatan tersebut dilakukan di sepanjang DAS,
ditanam jenis pohon yang tepat maka akan semakin banyak jumlah air yang dapat
disimpan dan ditahan di dalam tanah. Tanaman yang digunakan biasanya tanaman
yang dapat mengurangi erosi, baik dari segi habitus maupun umur, diutamakan
tanaman keras yang bernilai ekonomis baik berupa kayu maupun hasil lainnya.
Tanaman yang akan
digunakan dalam kegiatan reboisasi atau penghijauan di sepanjang DAS harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Mempunyai sistem
perakaran yang kuat, dalam dan luas sehingga dapat membentuk jaringan akar yang rapat.
b) Pertumbuhannya cepat
sehingga mampu menutup tanah dalam waktu yang relatif singkat.
c) Mempunyai nilai
ekonomis baik kayunya maupun hasil lainnya.
d) Dapat memperbaiki
kualitas kesuburan tanah
2.4 Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia termasuk pengembangan
kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana,
sehingga ikut berperan dalam upaya pengelolaan DAS.
Masyarakat yang memiliki lahan di sepanjang
DAS ataupun sebagai penerima manfaat adanya DAS di daerah hilir merupakan pihak
penting yang harus memahami bagaimana mengelola lahan di sepanjang DAS. Umumnya
masyarakat di daerah hulu menggunakan lahannya untuk budidaya pertanian,
perkebunan dan pemukiman. Saat ini, marak ditemui di bagian tertentu di daerah
aliran sungai telah dilakukan kegiatan galian C yang tidak terkendali, sehingga
sempadan sungai mengalami pelebaran dan terjadinya sedimentasi di daerah hulu
sungai. Sementara di daerah hilir yang umumnya menuju ke arah ramai pemukiman,
aliran sungainya mengalami penyempitan akibat penggunaan lahan untuk permukiman
serta usaha-usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan
demikian, berbagai kegiatan DAS yang harus dilakukan seharusnya sejak dini
telah mengikutsertakan masyarakat untuk bersam-sama mengelola DAS dengan
berbagai bentuk kegiatan yang berasaskan pada konservasi tanah dan air.
Beberapa program yang dapat diterapkan, diantaranya:
a) Program penguatan
ekonomi masyarakat melalui pengembangan pedesaan, sehingga pendapatan petani
meningkat.
b) Program pengembangan
pertanian konservasi, sehingga dapat berfungsi produksi dan pelestarian sumberdaya
tanah dan air.
c) Penyuluhan dan transfer
teknologi untuk menunjang program pertanian konservasi dan peningkatan
kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan DAS.
d) Berbagai bentuk
intensif/ransangan baik intensif langsung maupun tidak langsung, dalam bentuk
bantuan teknis atau pinjaman, yang dapat memacu peningkatan produksi pertanian
dan usaha konservasi tanah dan air.
e) Upaya mengembangkan
kemandirian dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah,
sehingga mampu memperluas keberdayaan masyarakat dan berkembangnya ekonomi
rakyat.
Pembinaan kesadaran dan
kemampuan masyarakat termasuk pengembangan kapasitas kelembagaan dalam
pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, sehingga akan berpengaruh nyata
terhadap upaya pengelolaan DAS juga harus dilakukan oleh berbagai instansi dan
dinas terkait mulai dari bagian hulu hingga ke hilir DAS, sehingga pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya alam akan seimbang dan memberikan manfaat
kesejahteraan bagi khalayak umum.
3. Karakteristik DAS
Karakteristik DAS
adalah gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh parameter-parameter
tentang keadaan di lapangan suatu DAS tertentu, mulai dari bagian hulu hingga
hilir sungai. Parameter-parameter tersebut meliputi:
a) Batas dan luas wilayah
DAS dengan melihat proporsi luasan hutan dalam suatu DAS, distribusi atau
penyebaran hutan dan kesesuaian jenis-jenis hutan tanaman terhadap lingkungan,
sehingga ditemukan batas dan luasan suatu wilayah DAS.
b) Iklim (curah hujan,
suhu, kelembaban), meliputi data hasil pengukuran di sepanjang DAS mulai dari
bagian hulu hingga ke hilir.
c) Topografi, merupakan
ketinggian tempat dari hulu hingga ke bagian hilir.
d) Tanah, mencakup tanah
di sepanjang DAS
e) Pola aliran, mencakup
aliran permukaan dan aliran air tanah.
f)
Geologi
dan hidrogeologi
g) Hidrologi (kualitas,
kuantitas dan distribusi air)
h) Penggunaan lahan,
mencakup tipe-tipe penutupan lahan
i)
Erosi
dan sedimentasi
j)
Karakteristik
sosekbud masyarakat dan
k) Kelembagaan masyarakat
Karakteristik DAS dapat
diartikan gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh
parameter-parameter tentang yang berkaitan dengan keadaan morfometri,
morfologi, tanah, geologi, vegetasi, tata guna lahan, hidrologi dan manusia.
Oleh karena itu karakteristik DAS tersusun dari faktor-faktor yang bersifat
alami dan relatif sulit dikelola (statis) dan faktor yang mudah dikelola
(dinamis) secara menyeluruh dari hulu sampai hilir bisa dipilah dalam sistem
sebagai faktor-faktor masukan, prosesor dan luaran.
Karakteristik DAS yang
merupakan interaksi dari seluruh faktor tersebut adalah sangat komplek dimana
masing-masing faktor terdiri dari lebih dari 1 sub-faktor. Dengan demikian
karakteristik DAS tidak bisa digeneralisasi, sehingga setiap DAS memiliki ciri
khas sendiri-sendiri sebagai diferensiasi berbagai faktornya. Dengan kata lain
bahwa karakteristik DAS merupakan keterkaitan biofisik antara daerah hulu
dengan daerah hilir yang keduanya dihubungkan oleh daur hidrologi sebagai
faktor utama. Karakteristik DAS merupakan informasi dasar yang dapat digunakan
untuk mengambil keputusan dalam melakukan pengelolaan DAS selanjutnya.
DAS di beberapa tempat
di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan
penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif
sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun
dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi,
banjir dan kekeringan. Di sisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam
menunjang sistem kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir
demikian besarnya. Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi oleh
kondisi bagian hulu maupun hilir demikian besarnya. Sebagai suatu kesatuan tata
air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah
tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman
gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh
pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat
kaitannya dengan peraturan kelembagaan (institutional arrangement).
4. Rangkuman
4.1. Pengertian DAS
a) Daerah aliran sungai
(DAS), adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai
dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air
yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secar alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktifitas di daratan.
b) Berdasarkan hamparan
wilayahnya, Das terbagi menjadi 4 yaitu DAS lokal, regional, nasional dan
lintas negara.
c) DAS merupakan satu
kesatuan ekosistem yang komponen utamanya meliputi sumberdaya alam tanah, air,
vegetasi serta sumberdaya manusia.
d) Tujuan pengelolaan DAS
: mewujudkan kondisi tata air DAS yang
optimal/terbaik meliputi kuantitas,kualitas dan distribusinya menurut ruang dan
waktu; mewujudkan kondisi lahan yang produktif secara berkelanjutan; dan mewujudkan
kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.
e) Beberapa prinsip dasar
dalam pengelolaan DAS adalah (a) DAS sebagai suatu kesatuan ekosistem dari hulu
sampai hilir, satu kesatuan perencanaan dan satu pengelolaan, (b) multipihak,
koordinatif, menyeluruh dan berkelanjutan, (c) adaptif sesuai dengan karasteristik
DAS, (d) pembagian beban biaya dan manfaat antar multipihak secara adil serta
(e) akuntabel
f)
Pengelolaan
DAS terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan,sinkronisasi
program,pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber daya DAS lintas para pemangku
kepentingan secara partisipatif berdaskan kajian kondisi
biofosik,ekonomi,sosial,politik dan kelembagaan guan mewujudkan tujuan
pengelolaan DAS.
g) Pengelolaan DAS terpadu
tersebut meliputi:
(1) Keterpaduan dalam
proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan dan penetapan
rencana kegiatan di das.
(2) Keterpaduan dalam
program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan program-program
kegiatan di das, termasuk memadukan waktu pelaksanaan, lokasi dan pendanaan
serta mekanismenya.
(3) Keterpaduan
program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan das,
sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah.
(4) Keterpaduan dalam
pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses evaluasi dan
monitoring.
(5) Keterpaduan dalam
pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan.
h) FORUM DAS yaitu wadah
koordinasi pengelolaan DAS yang merupakan organisasi para pemangku kepentingan
yang terkoordinasi dan dilegalisasi oleh presiden, gubernur atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk mengelola DAS di wilayahnya.
4.2. Ruang Lingkup DAS
a) Ruang Lingkup DAS
meliputi :
(1) Pengelolaan ruang
melalui usaha pengaturan penggunaan lahan (landuse) dan konservasi tanah dalam
arti yang luas.
(2) Pengelolaan sumberdaya
air melalui konservasi, pengembangan, penggunaan dan pengendalian daya rusak
air.
(3) Pengelolaan vegetasi
yang meliputi pengelolaan hutan dan jenis vegetasi lainnya yang memiliki fungsi
produksi dan perlindungan terhadap tanah dan air.
(4) Pembinaan kesadaran dan
kemampuan manusia termasuk pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam secara bijaksana, sehingga ikut berperan dalam upaya
pengelolaan DAS.
b) UU Kehutanan No 41
tahun 1999 menyatakan bahwa luas kawasan hutan dan penutupan hutan yang harus
dipertahankan sebanyak 30% dari luas DAS dengan sebaran yang proporsional. Selain
itu juga bahwa tidak boleh menebang pohon dengan radius atau jarak sampai
dengan:
(1) 500 m dari tepi waduk atau danau
(2) 200 m dari tepi mata
air dan kiri kanan sungai di daerah rawa
(3) 100 m dari kiri kanan
tepi sungai
(4) 50 m dari kiri kanan
tepi anak sungai
(5) 2 m dari kedalaman
jurang dari tepi jurang
(6) 130 kali selisih pasang
tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
c) Daerah di sepanjang DAS
dibagi menjadi dua satuan pengelolaan lahan. Satuan pengelolaan hulu mencakup
seluruh daerah tadahan (watershed) atau daerah kepala sungai, sementara
satuan pengelolaan hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah
bawah (commanded area) yang berpotensi untuk dibuatkan saluran
pengairan.
d) Teknik-teknik
pengembangan sumberdaya buatan dalam rangka pengelolaan DAS yaitu terasering,
pembuatan resapan air hujan dan bangunan stabilisasi seperti dam penghambat
(check dam), balong, embung dan rorak.
e) Beberapa kegiatan yang
dapat dilakukan kaitannya dengan usaha perlindungan tanah di sepanjang DAS di
antaranya penanaman tanaman penutup tanah, reboisasi atau penghijauan.
f)
Berbagai
kegiatan DAS yang dilakukan oleh instansi dan dinas terkait mulai dari hulu
hingga hilir seharusnya sejak dini telah mengikut sertakan masyarakat untuk
bersama-sama mengelola DAS dalam berbagai bentuk kegiatan yang berasaskan pada
konservasi tanah dan air, sehingga pengelolaan dan pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam akan seimbang dan memberikan manfaat kesejahteraan bagi
khalayak umum.
4.3. Karakteristik DAS
a) Karakteristik DAS
adalah gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh parameter-parameter:
(1)batas dan luas wilayah DAS, (2) iklim (curah hujan, suhu, kelembaban), (3)
topografi, (4) tanah, (5) pola aliran,
(6) geologi dan hidrogeologi, (7) hidrologi (kualitas, kuantitas dan distribusi
air), (8) penggunaan lahan, (9) erosi
dan sedimentasi, (10) karakteristik sosekbud masyarakat dan (11) kelembagaan
masyarakat .
b) Karakteristik DAS yang
merupakan interaksi dari seluruh faktor tersebut adalah sangat komplek dimana
masing-masing faktor terdiri dari lebih dari 1 sub-faktor. Dengan demikian
karakteristik DAS tidak bisa digeneralisasi, sehingga setiap DAS memiliki ciri
khas sendiri-sendiri sebagai diferensiasi berbagai faktornya.
c) Dengan kata lain bahwa
karakteristik DAS merupakan keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan
daerah hilir yang keduanya dihubungkan oleh daur hidrologi sebagai faktor
utama.
d) Karakteristik DAS
merupakan informasi dasar yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan dalam
melakukan pengelolaan DAS selanjutnya.
5. Tugas
No.
|
Uraian
Tugas
|
Tahapan
Penyelesian
|
Hasil
Tugas
|
a.
|
Gambarkan
Das yang menyatakan bahwa DAS sebagai satu kesatuan ekosistem yang berisi
semua komponennya
|
1. Amati DAS yang ada di dekat anda
2.
gambarkan komponen DAS sebagai satu kesatuan ekosistem
3.
Diskusikan hasil pengamatan tersebut secara berkelompok
4.
Buatlah kesimpulan dari hasil diskusi tersebut
|
Gambar
DAS sebagai satu kesatuan ekosistem berikut komponen lengkapnya.
|
b.
|
Amati
salah satu sungai yang terdekat dengan anda saat ini, kemudian uraikan
bagaimana penerapan larangan untuk tidak menebang pohon dari sungai tersebut
|
1.
Amati salah satu sungai yang terdekat dengan anda saat ini
2.
Tentukan apakah larangan tidak menebang pohon sudah sesuai dengan radius atau
jarak yang diatur
3.
Diskusikan hasil pengamatan tersebut secara berkelompok
4.
Buatlah kesimpulan atas penerapan aturan tersebut
|
Kesimpulan
atas penerapan aturan tidak menebang pohon pada radius atau jarak dari sungai
tersebut.
|
c.
|
Diskusikan
secara berkelompok tentang penanaman pohon di sepanjang DAS dapat menghambat
terjadinya banjir
|
1.
Diskusikan tentang bagaimana terjadinya banjir
2.Diskusikan
manfaat menanam pohon sebagai penyimpan air hujan
3. Buatlah laporan hasil diskusi anda
4.
Informasikan dan diskusikan hasil kegiatan dengan teman-teman anda dalam
rangka tukar menukar informasi
|
Rangkuman
hubungan natara penanaman pohon dengan kemampuannya menghambat terjadinya
banjir
|
d.
|
Carilah
informasi tentang waduk di daerah terdekat anda dan apa manfaatnya yang
diperoleh dari beberapa sumber belajar
|
1. Mencari informasi
tentang waduk terdekat
2.
Mencari informasi tentang manfaat nyata waduk terhadap bagian hilir
3.
Diskusikan informasi yang diperoleh secara berkelompok
4.
Buatlah rangkuman dari hasil diskusi yang telah anda lakukan
|
|